MY PROPOSAL

JUDUL PROPOSAL
Perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya, serta tak lupa shalawat dan salam pada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan pengikutnya, sehingga penulis dapat menyusun proposal yang berjudul “ Perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda,” tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan dan kekurangan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan proposal penelitian ini.
            Dalam penulisan proposal ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1.    Bapak Gozali MH, M.Kes, selaku Ketua pada STIKES Muhammadiyah Samarinda.
2.    Ibu Dwi Rahmah Fitriani, Ns, S.Kep, selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan pada STIKES Muhammadiyah Samarinda.
3.    Bapak Maridi MD, Ns, M.Kep, selaku pembimbing I dan sekaligus penguji II dalam penulisan proposal penelitian ini.
4.    Bapak Suwanto, Ns, S.Kep, selaku pembimbing II dan penguji III dalam penulisan proposal penelitian ini.
5.    ………selaku penguji I proposal penelitian ini.
6.    Dr. Aji Syirafuddin, MMR, selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
7.    Kepala Ruangan dan seluruh staf ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
8.    Seluruh Dosen dan staf Pendidikan pada STIKES Muhammadiyah Samarinda.
9.    Suami, anak-anakku dan seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan motivasi agar selalu sukses dalam menjalani studi.
10. Teman-teman seperjuangan di STIKES Muhammadiyah Samarinda terima kasih atas masukan dan motivasinya.
11. Semua pihak yang turut membantu pelaksanaan pembuatan proposal ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga penulisan proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


                                                                        Samarinda,  April 2011

                                                                                   Penulis    




BAB  I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Immobilisasi atau tirah baring telah lama dikenal sejak zaman dahulu, digunakan untuk penyembuhan dan rehabilitasi pasien. Immobilisasi diartikan sebagai tinggal ditempat tidur untuk jangka waktu yang lama dan diharuskan istirahat. Kata “istirahat” berkenaan dengan hal ini agak kurang tepat karena kita selalu berpikiran bahwa ini diartikan dengan istirahat malam yang baik. Pada tirah baring sebenarnya bukan sesuatu yang dilakukan dengan sukarela, namun sebagai akibat dari berbagai gangguan fungsi tubuh (gerak, bernapas dan gangguan saraf). Juga sebagai akibat dari penyakit, kelemahan dan kelumpuhan.
Immobilisasi didefinisikan sebagai suatu intervensi dimana pasien dibatasi untuk tetap berada ditempat tidur untuk tujuan terapeutik. Immobilisasi mengarah kepada ketidakmampuan pasien untuk bergerak secara bebas baik karena penyakitnya maupun karena aturan terapi (Potter & Perry, 2009). Immobilisasi lama dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak/ tirah baring yang terus menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis.  Didalam praktek medis immobilisasi digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom degenerasi fisiologi akibat menurunnya aktivitas dan ketidakberdayaan (Tejo, 2009).
           Tindakan terapeutik immobilisasi bertujuan diantaranya untuk mempercepat penyembuhan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, keterbatasan pergerakan fisik oleh akibat dari rasa sakit yang hebat sehingga pasien mengurangi atau membatasi aktivitas fisiknya, atau tidak boleh bergerak karena penyakit yang dideritanya, karena dengan bergerak akan memperparah penyakitnya.   
Disamping mempunyai keuntungan, immobilisasi juga mempunyai dampak negatif terhadap sistim tubuh. Individu normal yang mengalami immobilisasi akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3 % sehari (Potter & Perry, 2009). Dampak immobilisasi lama terutama dekubitus mencapai 11 % dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu perawatan, emboli paru berkisar 0,9 % dimana tiap 200.000 orang meninggal dunia tiap tahunnya (Tejo,  2009). Menurut Potter & Perry (2009), bahwa akibat dari immobilisasi yang lama akan menyebabkan gangguan baik secara fisiologis, psikologis dan sosial (psikososial).
Dampak fisiologis pada immobilisasi diantaranya mempengaruhi sistem metabolik, respirasi, kardiovaskuler, urinaria, integumen, muskuloskeletal, dan pencernaan. Dampak psikososialnya adalah perubahan pada kondisi emosional, intelektual, sensori dan sosiokultural (Potter & Perry, 2009).
Namun demikian, immobilisasi merupakan keadaan yang harus dilakukan, mau tidak mau ataupun suka tidak suka, immobilisasi tetap menjadi pilihan demi kesembuhan pasien disamping program terapi yang lain. Immobilisasi juga berpengaruh terhadap penggunaan energi. Dengan immobilisasi tubuh dapat menghemat energi yang dapat digunakan untuk kesembuhan penyakit itu sendiri. Pasien yang mengalami immobilisasi adalah pasien dengan kondisi sakit yang serius/ berat atau yang mengalami kerusakan sistem tubuh yang luas. Dan lamanya immobilisasi sangat tergantung pada penyakit atau cedera yang dialami dan status kesehatan pasien (Potter & Perry, 2009). Adapun kondisi-kondisi yang mengharuskan untuk dilakukan immobilisasi adalah pada pasien dengan kasus kardiovaskuler (hipertensi krisis, infark miokard, dll), pembedahan, gangguan pada sistem muskuloskeletal seperti fraktur dan gangguan sistem persyarafan seperti stroke dan cedera kepala.
Saat ini kasus stroke  dan cedera kepala masih menjadi masalah kesehatan dunia. Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker, dan merupakan penyebab kecacatan nomor satu bagi orang yang selamat dari serangan stroke. Data menunjukkan bahwa lebih dari 60 % penderita stroke di dunia hidup di Negara berkembang. Peningkatan kejadian stroke di beberapa Negara Asia (China, India, Indonesia) ditengarai akibat pengaruh perubahan pola hidup, polusi, dan perubahan pola konsumsi makanan (Pinzon & Asanti, 2010).
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2008) memperlihatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor satu pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit. Menurut data stroke yang dikeluarkan oleh Yayasan Stroke Indonesia tahun 1990 diperkirakan jumlah penderita stroke di Indonesia mencapai 500.000 orang dan sekitar 125.000 diantaranya meninggal atau cacat seumur hidup.
Sementara itu jumlah penderita stroke yang tidak dibawa ke rumah sakit cukup banyak juga disebabkan karena keterbatasan biaya, jarak yang jauh menempuh rumah sakit dan lain sebagainya. sehingga sulit untuk mengetahui data penderita penyakit stroke yang sesungguhnya. Menurut data dasar rumah sakit di Indonesia, seperti diungkapkan Yayasan Stroke Indonesia, angka kejadian stroke mencapai 63,52 per 100.000 pada kelompok usia 65  tahun keatas. Secara kasar, setiap hari dua orang Indonesia terkena stroke (Kompas, 2007).
Dulu stroke identik dengan penyakit para orang tua. Namun, perubahan gaya hidup menyebabkan stroke kini juga mengintai orang-orang di usia 30-an, tak terkecuali wanita. Peluang wanita muda mendapatkan stroke memang tak begitu besar, namun konsekuensinya cukup menakutkan. Seperti yang dilansir oleh harian Kompas (2009), bahwa setiap 100.000 wanita yang berada dalam usia mampu memiliki anak, 4,4 % akan mengalami stroke iskemik. Jumlah penderita stroke iskemik mencapai 85 % dari seluruh kasus. Lebih dari 250.000 wanita usia 18-44 tahun berpotensi mengalami stroke ini. Angka pertahanan diri wanita dari stroke boleh dibilang memprihatinkan. Sebanyak 60 % wanita yang mengalami stroke ternyata tidak mampu bertahan. Meskipun lebih banyak pria yang mengalami stroke, ternyata kemampuan bertahan mereka lebih tinggi. Usia juga menentukan kemungkinan terjadinya stroke. Sebuah studi menunjukkan bahwa ada perbedaan antara wanita dan pria yang mengalami stroke antara usia 35-44 tahun dan 55-64 tahun. Dalam jangkauan usia 45-54 tahun, wanita dua kali lebih mungkin terkena stroke daripada pria. Penyebabnya diperkirakan karena meningkatnya ukuran lingkar pinggang dan penyakit jantung diantara wanita, karena itu wanita perlu lebih memperhatikan kesehatan kardiovaskuler pada usia pertengahan 30-an.
Kasus cedera kepala, di Amerika Serikat setiap tahunnya terjadi 1,1 juta orang mengalami cedera kepala. Sebanyak 50.000 orang mengalami kematian akibat cedera kepala, dan sebanyak 235.000 orang dihospitalisasi dengan cedera kepala. Dari jumlah tersebut terdapat 22 % orang yang mengalami kematian, 20 % mengalami kemunduran/ kecacatan  akibat dari cedera kepala (Lewis, Heitkemper, Dirksen, O’Brien & Bucher, 2007). Menurut Retnaningsih (2008), disebutkan bahwa cedera kepala merupakan epidemi yang tersembunyi, oleh karena sebagian masyarakat belum begitu mengetahui tentang cedera kepala beserta akibatnya. Lima belas persen dari pasien yang dirawat dengan cedera kepala akan mengalami squele (problem gangguan kronik) sepanjang hidupnya. Secara statistik diperkirakan setiap tahun 2 % penduduk dunia mengalami cedera kepala. Dikatakannya pula bahwa di Amerika Serikat sekitar 5,3 juta penduduk setiap tahun mengalami cedera kepala. Trauma menjadi penyebab utama kematian pada pasien berusia dibawah 45 tahun dan hampir 50 % -nya merupakan cedera kepala traumatik. Penyebab cedera kepala traumatik terbanyak akibat kecelakaan kendaraan bermotor sebesar 50 %, akibat jatuh sebesar 21 %, sisanya akibat kejadian yang lain. Puncak insiden cedera kepala pada usia 5 tahun, 15-24 tahun, dan di atas 70 tahun. Cedera kepala pada laki-laki lebih sering daripada wanita (Anurogo, 2008).
Data tentang insiden cedera kepala di Indonesia masih sulit didapatkan, namun peneliti berkeyakinan proporsi tersebut bisa saja berlaku untuk Kalimantan  timur dan Samarinda. Dan data 10 besar penyebab kematian pasien yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda tahun 2008 diantaranya adalah Stroke Hemmoragik 84 kasus, Stroke Non Hemmoragik 58 kasus, DM 55 kasus, Cedera Kepala Berat 49 kasus, dan data tahun 2009 kasus Stroke Hemmoragik dan Non Hemmoragik 695 kasus, Cedera Kepala 865 kasus (Medical Record RSUD A.Wahab Sjahranie, 2010).
Pasien yang mengalami stroke dan cedera kepala memerlukan immobilisasi karena aturan terapi. Namun akibat immobilisasi tersebut terjadi berbagai perubahan. Pada sistem pernapasan, biasanya akan terjadi penurunan frekuensi napas, penurunan expansi paru, penumpukan sekret, ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksida  (Potter & Perry, 2009). Sehingga pasien stroke dan cedera kepala yang dirawat dan dilakukan terapi bedrest memungkinkan untuk terjadi masalah atau gangguan pada kepatenan jalan nafas. Kepatenan jalan nafas merupakan kondisi saluran pernafasan yang bersih, terbuka dan terbebas dari benda asing, darah, sekret, dan lidah yang terjatuh kebelakang yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas O2 dan CO2. Pada pasien stroke dan cedera kepala yang mengalami penurunan kesadaran   secara pasti mengalami immobilisasi, dapat mengalami sumbatan jalan nafas yang berakibat pada terganggunya kepatenan jalan nafasnya. Memang peneliti belum dapat menyajikan data-data secara lebih konkrit mengenai gangguan kepatenan jalan nafas karena memang belum pernah dilakukan penelitian serupa di ruang ICU. Namun fenomena yang ditemukan oleh peneliti pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan bedrest sering ditemukan batuk, dan banyak mengeluarkan dahak. Akibat hipersekresi trakeobronkhial dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan pada akhirnya dapat menyebabkan pneumoni hipostatik, yang justru akan menambah keparahan sakit pasien. Dan hasil observasi penelitian terhadap 10 pasien dengan stroke dan cedera kepala yang dirawat diruang ICU didapatkan 7 dari 10 orang pasien (70%) mengalami gangguan kepatenan jalan nafas. Dan gangguan kepatenan jalan nafas ini biasanya akan terjadi beberapa hari setelah bedrest (5 hari atau lebih), tetapi tidak menutup kemungkinan gangguan kepatenan jalan nafas sudah terjadi pada awal-awal sebelum bedrest tergantung dari keparahan penyakit atau memang sebelumnya sudah mengalami gangguan pada saluran pernafasan dan paru-parunya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pasien khususnya pasien stroke dan cedera kepala yang mengalami bedrest dapat dipastikan akan mengalami gangguan pada kepatenan jalan nafasnya.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah ada perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda ?
C.   Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini meliputi :
1.    Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah  A. Wahab Sjahranie Samarinda.
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengidentifikasi kepatenan jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala sebelum dilakukan tirah baring lama.
b.    Untuk mengidentifikasi kepatenan jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala setelah dilakukan tirah baring lama.
c.    Untuk mengidentifikasi perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala sebelum dan setelah dilakukan tirah baring lama.
D.   Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, yaitu :
1.    Bagi peneliti
Penelitian ini memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti karena peneliti dapat secara langsung mengaplikasikan teori penelitian yang didapat dan mengeksplorasikan tentang hubungan lamanya immobilisasi dengan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala.
2.    Bagi klien
 Setelah hasil penelitian ini diinformasikan kepada pasien dan keluarganya, diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi pasien dan keluarganya yang mengalami stroke dan cedera kepala baik yang dirawat dirumah sakit maupun dirumah dan harus menjalani tirah baring.
3.    Bagi Rumah Sakit
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi teman sejawat, manajer keperawatan dan dapat dijadikan dasar bagi praktek keperawatan yang berdasarkan bukti penelitian.
4.    Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi para dosen pengajar mata kuliah yang berhubungan dengan materi dalam penelitian ini, sehingga mahasiswa dapat menggunakan prinsip-prinsip dasar perawatan pasien yang mengalami immobilisasi lama dan pasien stroke dan cedera kepala.

5.    Bagi Profesi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut dalam mengembangkan profesi keperawatan melalui pelaksanaan standar asuhan keperawatan.
E.   Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda dikarenakan Rumah Sakit Umum Daerah. A. Wahab Sjahranie Samarinda adalah Rumah Sakit terbesar di Kalimantan Timur dan merupakan Rumah Sakit Type B Pendidikan. Namun mengingat keterbatasan waktu, tenaga, biaya serta ini merupakan kali pertama peneliti melakukan penelitian, maka peneliti hanya menggunakan salah satu unit perawatan yaitu Ruang ICU. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai dengan bulan Mei 2011 dan hanya terbatas pada pengisian lembar observasi.
F.    Keaslian Penelitian.
Penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2010), yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Hospital Acquaired Pneumoni (HAP) Pada Penderita Stroke Hemoragik di Ruang ICU RSUD. A. Whab Sjahranie Samarinda”, menemukan bahwa kejadian HAP pada penderita stroke hemoragik dipengaruhi diantaranya oleh tirah baring lama. Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental menggunakan metode pengumpulan data dengan observasi yang selanjutnya di kode dan dianalisis.
Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah terletak pada jenis penelitian, variabel dependen, dan kriteria dalam lembar observasi. Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan post test, variabel dependen penelitian ini adalah kepatenan jalan nafas, variabel dependen penelitian Irwan adalah kejadian infeksi HAP  dan kriteria dalam lembar observasi penelitian ini menggunakan 10 kriteria berdasarkan modifikasi dari Nursing Outcomes Classification (NOC) tahun 2008 dan teori terkait yaitu teori County tahun 1989 , sedangkan penelitian Irwan tersebut hanya menggunakan 4 kriteria. Persamaannya adalah dalam pengumpulan data dengan observasi, dan sama-sama meneliti sejauh mana tirah baring lama berkontribusi terhadap adanya gangguan pada sistem pernafasan yang pada akhirnya dapat menimbulkan komplikasi.
Hasil penelitian mirip sebelumnya dilaporkan oleh Lukman (2009) tentang “Pengaruh Tirah Baring Lama Dengan Kepatenan Jalan Nafas Pasien Cedera Kepala Ringan Sampai Sedang Di Ruang Angsoka Rumah Sakit  Umum A. Wahab Sjahranie Samarinda”, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara tirah baring lama dengan kepatenan jalan nafas di Ruang Angsoka RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda.
Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada judul penelitian, diagnosa penyakit, kriteria inklusi dan eksklusi, kerangka kerja, lembar observasi dan parameter-parameter yang diukur, definisi operasional variabel, jumlah populasi dan sampel, lembar persetujuan menjadi responden dan ruangan tempat penelitian dilakukan. Pada penelitian yang akan dilakukan berdasarkan judulnya peneliti akan menggali adanya perbedaan  patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala setelah dilakukan tirah baring lama, peneliti akan menggali apakah ada perbedaan yang signifikan pada patensi jalan nafas pasien pada hari pertama dan kelima tirah baring, dan diagnosa penyakit yang diambil pada penelitian ini adalah stroke dan cedera kepala karena kedua penyakit ini merupakan peringkat pertama dan kedua dari 10 besar penyakit yang ada di ruang ICU, kriteria inklusi ada 5 dan eksklusinya ada 7, pada lembar observasi terdapat 10 macam parameter/ indikator yang diukur dan berdasarkan  modifikasi dari NOC (2008) dan teori terkait menurut County (1989), definisi operasional variabel yang dijelaskan adalah variabel dependen karena variabel dependennya saja yang diukur sedangkan variabel independen tidak diukur, jumlah populasi 225 responden dan jumlah sampel sebanyak 56 responden (25%), untuk persetujuan menjadi responden peneliti mendapatkannya atas persetujuan keluarga pasien dan penelitian ini akan dilakukan di ruang ICU RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda dimana sebagian besar pasien yang dirawat di ruang ICU mengalami penurunan kesadaran dan immobilisasi, dan pada penelitian pendahuluan peneliti menemukan sekitar 70% pasien dengan stroke dan cedera kepala mengalami gangguan kepatenan jalan nafas.
Pada penelitian Lukman (2009) menggali adanya pengaruh yang signifikan antara tirah baring lama terhadap kepatenan jalan nafas, ditujukan pada pasien dengan diagnosa cedera kepala sedang sampai ringan, kriteria inklusi ada 3 dan kriteria eksklusi ada 2, pada lembar observasi terdapat 7 parameter/ indikator yang diukur, definisi operasional kedua variabel dijelaskan, jumlah populasinya sebanyak 655 dengan jumlah sampel 65 responden (10%), persetujuan menjadi responden dapat diperoleh dari pasien sendiri atau keluarganya dan penelitian dilakukan di ruang Angsoka RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda. Persamaannya adalah pada jenis penelitian yaitu quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan post test tanpa kontrol, variabel dependen dan independennya yaitu kepatenan jalan nafas dan tirah baring lama, tehnik pengumpulan data dengan observasi, dan sama-sama meneliti sejauh mana tirah baring lama berkontribusi terhadap gangguan kepatenan jalan nafas.   

  














 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.       Telaah Pustaka
1.    Konsep Mobilisasi
Mobilisasi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas (Potter & Perry, 2009) baik dari tidur, duduk, bangun atau sebaliknya tetapi juga kemampuan seseorang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Bertujuan memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas rekreasi, mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengeksplorasi emosi dengan gerakan tangan non verbal (Handayani, 2008).
2.    Konsep Immobilisasi.
Immobilisasi didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk bergerak secara bebas (Potter & Perry, 2009). Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak/ tirah baring yang terus menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Tejo, 2009). Immobilisasi merupakan suatu keadaan dimana pasien harus beristirahat ditempat tidur, tidak bergerak secara aktif sebagai akibat berbagai penyakit atau impairment (gangguan pada alat/ organ tubuh) yang bersifat fisik (gerak, bernafas, dan gangguan saraf, akibat dari penyakit, kelemahan dan kelumpuhan) maupun secara mental. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan (Handayani, 2008). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa immobilisasi adalah suatu keadaan dimana pasien dianjurkan untuk tetap berada ditempat tidur dan melakukan aktivitas ditempat tidur karena gangguan pada organ/ anggota tubuh atau untuk alasan terapi akibat penyakit atau cedera yang dialami oleh pasien, dan untuk mengembalikan kekuatan.
Pada pasien yang dirawat dirumah sakit karena alasan terapi ataupun alasan pencegahan terjadinya komplikasi, biasanya dilakukan bedrest atau tirah baring/ immobilisasi. Immobilisasi adalah suatu intervensi dimana pasien dibatasi aktivitasnya untuk tetap berada ditempat tidur untuk tujuan terapetik. Immobilisasi mengarah kepada ketidakmampuan pasien untuk bergerak secara bebas baik karena penyakitnya maupun untuk alasan terapi. Pasien yang mengalami sakit berat atau terjadi kerusakan sistem tubuh yang luas biasanya dilakukan bedrest. Lamanya bedrest tergantung pada penyakit atau cedera yang dialami dan status kesehatan pasien (Potter & Perry, 2009).
a.    Etiologi Immobilisasi
Menurut Tejo (2009), etiologi immobilisasi meliputi :
1)      Cedera tulang : penyakit reumatik seperti pengapuran tulang atau patah tulang (fraktur) yang tentu akan menghambat pergerakan.
2)      Penyakit saraf : adanya stroke, cedera kepala, penyakit Parkinson, paralisis, dan gangguan saraf tapi juga menimbulkan gangguan pergerakan dan mengakibatkan immobilisasi.
3)      Penyakit jantung dan pernapasan : penyakit jantung dan pernapasan akan menimbulkan kelelahan dan sesak napas ketika beraktivitas. Akibatnya pasien yang mengalami gangguan pada organ-organ tersebut akan mengurangi mobilitas fisiknya dan cenderung lebih banyak duduk dan berbaring.
4)      Pada pasien yang terpasang gips ortopedik dan bidai.
5)      Penyakit kritis yang memerlukan istirahat.
6)      Menetap lama pada posisi gravitasi berkurang, seperti saat duduk atau berbaring seperti yang dialami para astronot.
7)      Keadaan tanpa bobot diruang hampa, yaitu pergerakan tidak dibatasi, namun tanpa melawan gaya gravitasi.
b.    Tujuan Immobilisasi.
Menurut Guillen (2009), tujuan immobilisasi adalah :
1)    Menurunkan kebutuhan oksigen
2)    Menurunkan tingkat nyeri
3)    Membantu kembalinya kekuatan tenaga
4)    Istirahat yang tidak terganggu baik untuk psikologi dan emosional pasien
c.    Komplikasi Immobilisasi
      Tejo (2009) juga menyebutkan dampak-dampak immobilisasi antara lain :  
1)      Timbulnya berbagai penyakit/ kelainan, seperti :
·   Atropi otot karena disused
·   Sendi menjadi kaku (kontraktur)
·   Infeksi saluran napas
·   Infeksi saluran kemih dan konstipasi
·   Gangguan aliran darah
·   Luka lecet pada jaringan kulit yang tertekan/ dekubitus
·   Ketergantungan kepada orang lain
2)      Rendahnya kualitas hidup
3)      Kematian
d.    Perubahan Pada Sistim Tubuh    
Pasien yang mengalami immobilisasi, biasanya akan terjadi berbagai perubahan berupa gangguan mulai dari gangguan sistem saraf pusat, kardiovaskuler dan komposisi sel darah, pernafasan, metabolik, muskuloskeletal, integumen, eliminasi, dan sistem pencernaan. Pada sistem pernafasan yang dapat terjadi adalah penumpukan sekret, penurunan daya kembang paru, penurunan tegangan permukaan untuk pertukaran gas O2 dan CO2, yang menyebabkan kolaps paru sehingga terjadi atelektasis, dan pneumonia hipostatik (Guillen, 2009). Menurut Kozier, Erb, Berman & Snyder (2004) akibat immobilisasi atau tirah baring lama akan mengakibatkan penurunan pergerakan pernafasan, sehingga terjadi proses perubahan ventilasi pasif paru. Tubuh yang berbaring diatas tempat tidur dalam waktu lama akan membatasi pergerakan dada. Organ-organ abdominal akan mendorong diaphragma berlawanan (mendesak paru) sehingga membatasi pergerakan paru dan membuat paru sulit untuk mengembang secara maksimal.
Pasien yang mengalami tirah baring lama jarang bernafas dengan baik, sebagian disebabkan karena atropi otot pernapasan dan sebagian juga karena tidak adanya stimulus. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan akan menyebabkan alveoli tergenang dan menghalangi udara masuk ke bronkhiole sehingga proses pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida terganggu. Kondisi ini akan diikuti oleh penurunan produksi surfaktant yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan cairan yang melapisi alveolus. Bila tidak ada surfaktan, pengembangan paru menjadi sulit, sering memerlukan tekanan intrapleura -15 sampai -20 mmHg untuk mengatasi kecenderungan alveoli untuk kolaps (Guyton, 1995). Penurunan produksi surfaktan inilah yang memicu terjadinya atelektasis lokal. Sedasi dan dehidrasi akan mengakselerasi proses ini. Adanya penumpukan sekret ini merupakan media paling baik untuk pertumbuhan kuman yang menyebabkan infeksi pada saluran nafas atas dan bawah, yang merupakan pemicu terjadinya pneumoni hipostatik (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Atelektasis dan pneumoni merupakan komplikasi akibat bedrest yang sering terjadi dan telah banyak diketahui. Emboli paru dan pneumoni aspirasi juga merupakan komplikasi lain yang bisa terjadi pada immobilisasi. Emboli paru memberi efek patofisiologi pada sistem respirasi, diantaranya peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokontriksi, berkurangnya compliance paru disebabkan oleh odema paru, perdarahan paru, dan hilangnya surfaktan (Nafiah, 2007).Sesak nafas dan gangguan pernafasan lain juga dapat terjadi akibat tirah baring.
3.    Konsep Kepatenan Jalan Nafas
Akibat immobilisasi terjadi perubahan seluruh sistem tubuh, diantaranya perubahan pada sistem pernafasan yaitu terganggunya kepatenan jalan nafas.
a.    Pengertian Kepatenan Jalan Nafas
Kepatenan jalan nafas adalah terbuka dan bersihnya saluran jalan nafas (trakheobronkhial) untuk terjadinya pertukaran udara (Moorhead, Johnson, Mass & Swanson, 2008). Menurut Rogers, (2006) kepatenan jalan nafas bagian atas adalah suatu keseimbangan harmonis antara saluran pernafasan/ fharingeal dengan otot-otot sekitarnya terhadap tekanan negatif yang terjadi saat inhalasi. Kepatenan jalan nafas dapat juga didefinisikan sebagai terbuka dan bersihnya jalan nafas yang terbebas dari benda asing, darah, sekret, dan lidah yang terjatuh ke belakang, ditandai dengan tidak adanya suara nafas tambahan seperti stridor, wheezing, retraksi dinding dada, batuk, mengeluarkan air liur, dan sianosis (County, 1989). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepatenan/ patensi jalan nafas adalah kondisi saluran pernafasan baik saluran nafas atas dan bawah yang tidak tersumbat, dalam kondisi terbuka, bersih, dan bebas dari benda asing, darah, akumulasi sekret, muntahan, bengkak laring, gigi patah atau lidah yang jatuh kebelakang, ditandai dengan tidak adanya suara nafas tambahan seperti stridor, wheezing, batuk, retraksi dinding dada, produksi air liur yang berlebih, dan sianosis, yang memungkinkan untuk terjadinya pertukaran udara yang baik antara O2 dan CO2, sehingga terjaminnya sirkulasi O2 dan CO2 dengan baik didalam tubuh.
b.    Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernafasan
Secara anatomis sistem respirasi dibagi menjadi bagian atas (upper) yang terdiri dari hidung, ruang hidung, sinus paranasalis dan faring yang berfungsi menyaring, menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke saluran pernafasan, dan bagian bawah (lower) terdiri dari laring, epiglotis, trakea, bronki, bronkioli dan alveoli. Dan secara fisiologis sistem respirasi dibagi menjadi bagian konduksi dari ruang hidung sampai bronkioli terminalis dan bagian respirasi terdiri dari bronkioli respiratorius sampai alveoli (Latief, Suryadi, & Dachlan, 2002). Komponen yang penting dari sistem pernafasan meliputi (Anonim, 2010) :
1)    Hidung dan mulut.
Normalnya manusia akan berusaha bernafas melalui hidung, dan pada keadaan tertentu bernafas melalui mulut. Udara yang masuk akan mengalami proses penghangatan dan pelembaban. Pada pasien yang tidak sadar, lidah akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada airway. Lidah pada bayi lebih besar secara relatif sehingga lebih mudah menyumbat jalan nafasnya.
2)    Faring.
Adalah suatu ruangan pada dinding belakang rongga mulut yang akan terlihat jika membuka mulut lebar-lebar. Udara dari hidung dan mulut, serta makanan dari mulut harus melalui faring ini. Udara dari mulut masuk melalui lubang mulut ke faring yang dikenal sebagai orofaring. Udara yang masuk melalui hidung akan ke bagian faring yang disebut nasofaring. Pada bagian bawah, faring terbagi menjadi esofagus yang merupakan jalur masuk makanan ke lambung, dan laring/ tenggorokan yang merupakan jalur pernafasan dan akan bersambungan dengan paru. Dengan mekanisme batuk partikel-partikel asing akan dikeluarkan melalui faring.
3)    Epiglotis.
Trakea dilindungi oleh sebuah flap berbentuk daun yang berukuran kecil yang disebut epiglotis. Normalnya epiglotis menutup laring pada saat makanan atau minuman masuk mellui mulut dan akan diteruskan ke esofagus. Tetapi pada keadaan tertentu seperti trauma atau penyakit, refleks ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dapat terjadi masuknya benda padat atau cair ke laring yang dapat mengakibatkan tersedak.
4)    Laring dan Trakea
Laring adalah bagian paling pertama dari saluran pernafasan. Pada bagian ini terletak pita suara. Setelah melalui laring, udara akan melalui trakea.
5)    Bronkus dan Paru
Ujung bawah trakea akan bercabang menjadi bronkus kanan dan bronkus kiri. Setiap bronkus akan terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil yang disebut bronkiolus. Pada ujung terakhir disebut alveolus, dimana akan terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida.
c.    Etiologi Gangguan Kepatenan Jalan Nafas
Gangguan kepatenan jalan nafas dapat dialami oleh pasien sadar maupun tidak sadar. Pada pasien yang sadar biasanya gangguan patensi jalan nafas disebabkan oleh sumbatan benda asing, yang tersering adalah makanan/ minuman yang masuk kedalam saluran pernafasan. Sedangkan pada pasien tidak sadar termasuk pasien stroke dan cedera kepala, gangguan patensi jalan nafas sering disebabkan oleh pangkal  lidah yang jatuh kebelakang karena kehilangan kekuatan otot lidah sehingga menutupi  trakea sebagai jalan nafas, selalu akan timbul cairan dan refleks menelan hilang, refleks batuk hilang dengan akibat aspirasi dan obstruksi airway. Penyebab lain adalah penyempitan di laring atau trakea yang disebabkan oleh edema karena berbagai sebab (luka bakar, radang, dsb) ataupun desakan neoplasma (Tim Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118, 2010).
Penyebab lain juga bisa dari perdarahan saluran nafas bagian atas, akumulasi sekret pasien sendriri, muntahan atau gigi patah (Medicine Emergency, 2009).
d.    Tanda dan Gejala Gangguan Kepatenan Jalan Nafas
Pasien dengan stroke dan cedera kepala yang tidak sadar dan dalam immobilisasi dapat mengalami sumbatan jalan nafas atas partial atau total. Gangguan ini dapat berupa obstruksi/ sumbatan partial jalan nafas akibat lidah jatuh kebelakang, umumnya terjadi karena pergeseran posterior lidah, yang ditandai adanya stridor. Tanda-tanda sumbatan ini harus dikenali secara dini. Sumbatan partial ditandai dengan adanya suara berisik saat inspirasi seperti ngorok, atau melengking, pengurangan aliran udara yang keluar masuk paru, saat inspirasi terjadi retraksi pada suprasternal, supraklavikular atau interkostal, mungkin gerakan dada paradoksal. Pada sumbatan total jalan nafas gejala tersebut akan terlihat makin berat, tetapi justru tidak terdengar suara nafas sehingga bila tidak terawasi dengan baik dapat membahayakan pasien, karena dapat mengancam nyawa. Pemantauan saturasi denyut sangat bermanfaat untuk mendeteksi secara dini terjadinya desaturasi oksigen (Tatang Bisri, 2008; Whiteley, Bodenham, & Bellamy, 2004). Tanda dan gejala yang lebih jelas adalah adanya suara nafas tambahan seperti stridor, ronkhi, wheezing, gurgling, batuk, retraksi dinding dada, irama pernafasan tidak teratur, pernafasan cuping hidung, ketidakmampuan mengeluarkan sekresi dan sianosis ( NOC, 2008; County, 1989).
4.    Konsep Stroke.
Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates.Soranus dari Epheus (98-138) di Eropa, telah mengamati berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke.Sampai saat ini stroke merupakan salah satu penyakit saraf yang paling banyak menarik perhatian (Aliah, Kuswara, Limoa & Wuysang, 2003). Menurut Ranakusuma (2002), stroke adalah serangan otak (brain attack/ cerebrovaskuler accident) yang merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Merupakan salah satu kegawatdaruratan neurologi dan terminologi klinis yang bersifat genetik yang dapat diterima dan dimengerti semua lapisan masyarakat.  
Stroke memiliki angka kecacatan dan kematian cukup tinggi. Angka kejadian stroke dunia diperkirakan 200 per 100.000 penduduk dalam setahun. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat (Raeni, Christantie & Haryani, 2008). Penelitian Raeni, dkk (2008) di Yogyakarta yang meneliti tentang ketergantungan ADL pada pasien stroke dengan 11 orang responden, menemukan kebanyakan penderita stroke haemoragik dan non haemoragik berusia antara 50-59 tahun. Untuk stroke haemoragik sebanyak 3 orang (42,9%), stroke non haemoragik sebanyak 8 orang (34,8%). Stroke banyak diderita oleh usia diatas 50 tahun, resiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah mencapai usia 40 tahun, setiap penambahan usia 3 tahun meningkatkan resiko stroke sebesar 11% - 20%.
a.    Pengertian Stroke
Menurut WHO, stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular (Aliah, dkk, 2003). Hal senada juga dikemukakan oleh Ranakusuma (2002) bahwa stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Stroke dapat juga didefinisikan sebagai defisit neurologi yang mempunyai awitan  mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari CVD (Hudak & Gallo, 1996).  Lebih sederhana lagi, Junaidi (2006) menyatakan stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf/ defisit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan, berlangsung 24 jam atau lebih, dengan gejala lemas/ lumpuh sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian.
b.    Anatomi dan fisiologi.
Otak memperoleh darah melalui dua sistem, yakni sistem karotis (arteri karotis kanan dan kiri), dan sistem vertebral. Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua menjadi arteri serebri anterior dan arteri serebri media.Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavikula, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas  medulla oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi arteri basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang yaitu arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis. Ketiga pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan beranastomosis satu dengan lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainnya. Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sistem vertebral yaitu :
1)      Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri media kanan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior), sepasang arteri serebri posterior, dan arteri komunikans posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
2)      Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbita, masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna.
3)      Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis eksterna.
Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga tak ada arteri ujung dalam jaringan otak. Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem yaitu kelompok vena interna, yang mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung (Aliah, dkk, 2003).
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior hemisfer. Mekanisme ini sangat bergantung kepada aliran darah otak (ADO).Aliran darah normal melalui jaringan otak rata-rata 50 sampai 55 ml per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak orang dewasa  rata-rata, ini kira-kira 750 ml per menit, atau 15 persen curah jantung total pada waktu istirahat (Guyton, 1995).
Dijelaskan kembali oleh Aliah, dkk (2003) bahwa Aliran darah di otak dipengaruhi terutama oleh 3 faktor. Dua yang paling penting adalah tekanan untuk memompakan darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, dan tahanan perifer pembuluh darah otak. Faktor ketiga adalah darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulabilitasnya (kemampuan untuk membeku).Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi normal bila tekanan darah sistolik antara 50-150 mmHg). Faktor lain yang juga berpengaruh, diantaranya seperti kadar/ tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter arteriol. Tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi vasokonstriksi. Viskositas yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas besar juga memudahkan terjadinya thrombosis, dan aliran darah lambat, akibatnya ADO yang menurun.
c.    Klasifikasi Stroke
Lewis, dkk (2007) mengklasifikasikan  stroke dalam beberapa jenis, yaitu :
1)      Stroke Iskemik/ Stroke Non Haemorragik, terdiri atas :
·   Stroke Thrombotik
·   Stroke Emboli
2)      Stroke Haemorragik, terdiri atas :
·   Intraserebral Haemorragik
·   Subarakhnoid Haemorragik
d.    Etiologi Stroke
Ranakusuma (2002), menyebutkan etiologi terjadinya stroke adalah ;
1)      Infark otak (80%) 
·   Emboli (emboli kardiogenik, emboli paradoksal, emboli arkus aorta).
·   Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang-besar).
·   Lakuner (oklusi arteri perforans kecil).
2)      Perdarahan intreserebral (15%)
·      Hipertensif
·      Malformasi arteri-vena
·      Angiopati amiloid
3)      Perdarahan subarakhnoid (5%)
4)      Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan) antara lain :
·      Trombosis sinus dura
·      Diseksi arteri karotis atau vertebralis
·      Vaskulitis sistem saraf pusat; migren
·      Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
·      Kondisi hiperkoagulasi
·      Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin)
·      Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia, leukemia)
e.    Patofisiologi Stroke
 Patofisiologi stroke oleh Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever (2010) diuraikan berdasarkan jenisnya. Pada stroke iskemik, terdapat gangguan aliran darah otak yang menyebabkan obstruksi pada pembuluh darah. Gangguan pada aliran darah ini mengawali sebuah rangkaian kompleks dari kejadian perubahan metabolik selluler yang mengarah ke iskemik. Iskemik ini diawali ketika aliran darah otak menurun kurang dari 25 ml per 100 gram darah per menit.Pada keadaan ini neuron-neuron tidak dapat mempertahankan pernafasan aerobik. Mitokondria kemudian merubah pernafasan menjadi anaerobik, yang akan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan perubahan pH. Perubahan ini berakibat kepada penurunan effisiensi pernafasan anaerobik, juga menyebabkan ketidakmampuan neuron memproduksi Adenosin Three Phofatase (ATP) dalam jumlah cukup untuk bahan bakar dalam proses depolarisasi. Pompa membran yang memelihara keseimbangan elektrolit mulai terganggu dan sel-sel berhenti berfungsi (kematian sel). Kematian sel-sel ini menyebabkan inflamasi, yang merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Iskemik ini mengancam sel-sel di area penumbra karena depolarisasi membran dari dinding sel berperanan penting dalam peningkatan kalsium dan dihasilkannya glutamat, bila ini berlangsung terus akan menyebabkan kerusakan sel membran, mengeluarkan banyak kalsium dan glutamat, vasokonstriksi dan kelangsungan radikal bebas. Proses yang menyebabkan infark di penumbra ini, dikenal dengan stroke. Orang yang pernah mengalami stroke jens ini akan kehilangan 1,9 juta neuron bila dalam hitungan menit tidak tertangani.
Pada stroke haemorragik, patofisiologinya terbagi berdasarkan jenis perdarahannya, yaitu intraserebral haemorragik, dan subarakhnoid haemorragik, ditambahkannya pula jenis perdarahan yang lain yaitu intraserebral/ kranial aneurisma, dan arteriovenous malformations.
Pada intraserebral haemorragik, atau perdarahan didalam jaringan otak, adalah keadaan yang paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis otak, karena perubahan degeneratif dari penyakit ini yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Dapat juga disebabkan oleh kelainan arteri, tumor otak, dan pemakaian obat-obatan seperti amfetamin, antikoagulan oral). Perdarahan terjadi di lobus otak, ganglia basalis, thalamus, batang otak (tersering di pons), dan otak kecil. Biasanya ruptur perdarahan di dinding ventrikel lateral dan menyebabkan perdarahan intraventrikular yang berakibat fatal.
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan didalam rongga subarakhnoid yang merupakan akibat dari arteriovenous malformations (AVM),aneurisma intrakranial, trauma, atau hipertensi. Kebanyakan kondisi ini disebabkan oleh kebocoran aneurisma di daerah lingkaran Willis dan AVM kongenital dari otak.
Untuk jenis intraserebral aneurisma, adalah dilatasi dinding arteri otak yang menyebabkan kerapuhan dinding arteri.Penyebab pasti aneurisma tidak diketahui. Aneurisma mungkin karena aterosklerosis, yang menghasilkan kerusakan dinding pembuluh darah dengan akibat kerapuhan pada pembuluh darah; kerusakan kongenital dinding pembuluh darah; penyakit hipertensi vaskuler; trauma kepala; bertambahnya usia.Beberapa arteri dalam otak dapat menjadi aneurisma, tetapi lesi-lesi ini biasanya terdapat di percabangan arteri-arteri besar di lingkaran Willis. Arteri serebral yang sering terpengaruh adalah internal carotid artery (ICA), anterior cerebral artery (ACA), anterior communicating artery (ACoA), posterior communicating artery (PCoA), posterior cerebral artery (PCA), dan middle cerebral artery (MCA).
Pada AVM (Arteriovenous Malformation), disebabkan oleh ketidaknormalan perkembangan embrional yang berperan terhadap terjadinya kekusutan arteri dan vena di otak yang menurunkan kapiler pembuluh darah, yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena, dan pada akhirnya terjadi ruptur dinding pembuluh darah. AVM adalah keadaan yang biasa menyebabkan terjadinya stroke haemmoragik pada usia muda.
f.    Manifestasi Klinik Stroke
Lewis, dkk (2007) menyebutkan bahwa stroke dapat mempengaruhi fungsi tubuh, yaitu :
1)    Fungsi motorik, penurunan fungsi motorik sebagian besar akibat dari stroke,berupa gangguan dalam mobilitas fisik, fungsi pernafasan, gangguan menelan dan bicara, reflek batuk, dan kemampuan merawat dri sendiri. Bentuk gangguan ini berupa penurunan kemampuan berpindah/ bergerak (akinesia), gangguan mengintegrasikan pergerakan, perubahan otot dan reflek. Pada sebagian besar pasien, awalnya mengalami hiporefleksia yang selanjutnya berkembang menjadi hiperrefleksia. Penurunan fungsi motorik ini biasanya berdasarkan area yang mengalami kerusakan. Lesi pada satu sisi yang lain akan mempengaruhi motorik sisi lain yang berlawanan (kontralateral). Kerusakan pada sisi otak kanan akan berdampak pada motorik ekstremitas kiri, dan sebaliknya. Kerusakan pada bagian otak tengah  lebih menyebabkan kelemahan di ekstremitas atas daripada ektremitas bawah.
2)    Fungsi komunikasi, hemisfer kiri lebih dominan mempengaruhi kemampuan bicara. Gangguan berbicara berupa aphasia (ketidakmampuan berbicara sepenuhnya), disphasia (kesulitan dalam berbicara), disarthria (gangguan pada kontrol otot yang mengatur bicara), yaitu gangguan dalam pelafalan huruf, dan pengucapan kata-kata.
3)    Fungsi afek/ perasaan, pasien stroke mempunyai kesulitan dalam mengontrol emosi mereka, dan tidak dapat diprediksi. Depresi dan perasaan perubahan terhadap citra dirinya dan kehilangan fungsi dapat membuat keadaan emosi bertambah buruk. Pasien merasa frustasi dengan masalah motorik dan komunikasinya.
4)    Fungsi intelektual,  aspek memori dan pengambilan keputusan mungkin menjadi rusak akibat stroke. Kerusakan ini dapat terjadi karena pengaruh stroke pada salah satu bagian otak. Pada otak kiri sebagian besar pada masalah memori yang berhubungan dengan bicara. Pasien selalu sangat hati-hati dalam membuat keputusan, dan sebaliknya pasien dengan kerusakan pada otak bagian akan bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
5)    Fungsi persepsi, kerusakan otak bagian kanan menyebabkan masalah pada persepsi orientasi, walaupun keadaan ini dapat juga disebabkan oleh kerusakan otak bagian kiri. Gangguan ini berupa ketidaktepatan persepsi terhadap diri sendiri dan keadaan sakit, persepsi pasien yang keliru terhadap ruang/ tempat, homonymous hemianopsia yaitu terjadi kebutaan pada sebagian dari pandangan visual  kedua mata, penurunan persepsi berupa agnosia yaitu  ketidakmampuan mengenal suatu obyek baik melalui cahaya, sentuhan maupun pendengaran, dan juga apraksia yaitu ketidakmampuan untuk  mempelajari rangkaian bergerak menurut perintah.
6)    Fungsi eliminasi, sebagian besar terjadi masalah dengan perkemihan dan pembuangan tinja yang terjadi pada awal dan bersifat sementara.  Setidak-tidaknya masih bisa  merasa untuk buang air. Meskipun kontrol eliminasi biasanya tidak mempunyai masalah, pasien sering mengalami konstipasi. Konstipasi dihubungkan dengan immobilisasi, kelemahan otot-otot abdominal, dehidrasi, dan berkurangnya respon untuk buang air besar. Masalah eliminasi bak dan bab mungkin juga dihubungkan pada ketidakmampuan untuk mengungkapkan keinginan untuk bab/ bak.
Dan Junaidi (2006) menyebutkan gejala dan tanda stroke secara mendetail yaitu :
1)        Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa kelemahan atau                                                           kelumpuhan lengan atau tungkai, atau salah satu sisi tubuh.
2)        Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan, tungkai, atau  salah satu sisi tubuh. Baal atau mati rasa sebelah, kesemutan,  rasa terbakar. Mulut, lidah mencong bila diluruskan.
3)        Gangguan menelan : sulit menelan, minum suka tersedak.
4)        Bicara tidak jelas, sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai keinginan, pelo, sengau, bicaranya ngaco, afasia. Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang  terucap.
5)        Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.
6)        Tidak memahami pembicaraan orang lain, tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak memahami tulisan.
7)        Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun.
8)        Tidak dapat mengenali bagian tubuh.
9)        Hilangnya kendali terhadap kandung kemih; kencing yang tidak disadari.
10)     Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil.
11)     Menjadi pelupa (dimensia).
12)     Vertigo (pusing, puyeng), atau perasaan berputar yang menetap saat tidak beraktivitas.
13)     Awal terjadinya penyakit (onset) cepat, mendadak, dan biasanya terjadi   pada saat beristirahat atau bangun tidur.
14)     Hilangnya penglihatan berupa penglihatan yang terganggu, sebagian  lapang pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri,  penglihatan gelap atau ganda sesaat.
15)     Kelopak mata sulit dibuka atau dalam keadaan terjatuh.
16)     Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran.
17)     Menjadi lebih sensitif; menjadi lebih mudah menangis atau tertawa.
18)     Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur.
19)     Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan baik, sempoyongan, atau terjatuh.
20)     Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak sadarkan diri (koma).  

g.        Penatalaksanaan Klinik Stroke
Ranakusuma (2002), mengatakan bahwa penanganan stroke terutama stroke akut sangat penting. Hal pertama yang harus dilakukan adalah :
1)    Pasien dengan tindakan Airway, Breathing, dan Circulation.
2)    Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal nafas.
3)    Pasang jalur infus intravena dengan larutan normal salin 0,9% dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrose 5% dalam air dan salin 0,45% karena dapat memperhebat edema otak.
4)    Berikan oksigen 2-4 liter/ menit via kanul hidung.
5)    Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut.
6)    Buat rekaman ECG dan lakukan foto rontgen toraks.
7)    Ambil sampel untuk pemeriksaan darah : darah lengkap, trombosit, kimia darah, masa protombin, masa tromboplastin parsial.
8)    Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut : kadar alkohol, fungsi hati, gas darah arteri, skrining toksikologi.
9)    Konsul segera dokter ahli saraf untuk penanganan selanjutnya.
10) Sken tomografik atau resonansi magnetik bila alat tersedia. Bila tidak ada, dengan skor Siriraj/ Skor Gajah Mada untuk menentukan jenis stroke (iskemik atau hemoragik).
Junaidi (2006) menambahkan tentang penanganan ABC pada pasien stroke yaitu :
A = (Air way) : Jalan Nafas
Tindakan pertama adalah dengan menilai sistem pernafasan, meliputi pemeriksaan pada daerah mulut, seperti adakah sisa makanan, gigi palsu, atau benda asing lainnya yang dapat menghalangi jalan nafas pasien.
Masalah jalan nafas umumnya terjadi pada pasien dengan stroke perdarahan. Bagi pasien stroke iskemik, jalan nafas biasanya stabil kecuali infark pada batang otak atau kejang berulang. Untuk menghindari sumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar, pasien harus pada posisi miring (dekubitus lateral), leher hiperekstensi ringan dan bahu diangkat (tehnik chinleft), lendir disedot, bila perlu pasang Endo TrachealTube (ETT). Bila intubasi diperlukan lebih 3 hari, maka tracheostomy dapat dipertimbangkan.
B =(Breathing) : Pernafasan
Semua pasien stroke diberikan oksigen tambahan 1-2 liter per menit melalui hidung sampai ada hasil analisa gas darah, kemudian disesuaikan dengan target partial Pa O2 = > 80 (sampai 100) mmHg, kadar partial CO2 Pa CO2 = 30-35 mmHg.
C = (Circulation) : Keadaan Jantung
Setelah poin diatas, selanjutnya adalah memperbaiki sirkulasi dan perfusi otak secara cukup dengan cara mempertahankan curah jantung dan tekanan darah. Lalu diperiksa tekanan darah dan denyut nadi, periksa Electro Cardio Gram (ECG), diberikan oksigen, pemasangan infus, serta terapi lainnya seperti pemberian obat penurun panas dan obat penurun tekanan intrakranial.
5.        Konsep Cedera Kepala
Cedera kepala bertanggungjawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75% korban tewas karena kecelakaan lalu lintas. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacat tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala (Saanin, 2008).
Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk menyebutkan benturan atau trauma pada kepala. Ada yang menyebutkan cedera kepala dengan gegar otak, trauma kepala, trauma otak, cedera otak traumatik (traumatic brain injury/ TBI). Dahulu sering disebut dengan contusio atau comotio serebri. Dalam penelitian ini menggunakan istilah cedera kepala.
a.    Pengertian
Cedera kepala adalah suatu cedera yang mengenai kulit kepala, tengkorak dan otak (Lewis, dkk, 2007). Cedera kepala dapat juga didefinisikan sebagai adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (akselerasi – deselerasi) yang merupakan perubahan bentuk, dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Ilham, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/ benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Anonim, 2010).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak dan otak yang disebabkan oleh serangan/ benturan fisik dari luar, dapat berupa  penyimpangan bentuk, akselerasi-deselerasi yang merupakan perubahan bentuk, terbuka maupun tertutup, yang dapat mengubah kesadaran dan menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan perubahan fungsi fisik.
b.    Anatomi dan Fisiologi
Otak dilindungi oleh tulang tengkorak . kranium. Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak juga terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat temporalis dan fossa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Anonim, 2010). Tulang tengkorak  hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium (Saanin, 2008).
Fenomena autoregulasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif,dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Autoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linier terhadap tekanan darah.Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera). Volume total intrakranial harus tetap konstan (Doktrin Monro-Kellie: K = V otak + V css + V massa). Kompensasi atas terbentuknya lesi intrakranial adalah digesernya cairan serebro spinal dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam (Saanin, 2008). Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4-10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg,terutama bila menetap (Anonim, 2010). Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20% suplai darah, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gajala-gejala permulaan disfungsi serebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik (Mufti, 2009).
c.    Etiologi Cedera Kepala
            Penyebab cedera kepala traumatik terbanyak akibat kecelakaan kendaraan bermotor (50%), akibat jatuh (21%), akibat olahraga (10%), sisanya akibat kejadian lain. Puncak insiden cedera kepala pada usia 5 tahun, 15-24 tahun dan di atas 70 tahun. Cedera kepala pada laki-laki lebih sering daripada wanita (Anurogo, 2008). Penyebab lainnya adalah dipukul, cedera akibat olahraga, dan cedera rekreasi (Lewis, dkk, 2007).
d.    Mekanisme Cedera.
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (akselerasi) terjadi jika ada benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur obyek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragik. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tidak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler,serta vasodilatasi  arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan TIK. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Terdapat pula cedera fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat. Cedera kepala fokal diakibatkan kerusakan lokal, meliputi kontusio serebral dan hematom serebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak, atau herniasi. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragik kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya, situasi yang terjadi pada hampir 50% pasien yang  mengalami cedera kepala berat bukan karena peluru (Hudak & Gallo, 1996).
e.    Patofisiologi  Cedera Kepala
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa,otak menerima 20% dari curah jantung. Sebagian besar,yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu. Cedera otak yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel, yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Oleh karena itu, pada cedera otak harus dijamin bebasnya jalan nafas,gerakan nafas yang adekuat, dan hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akan menyebabkan odem yang dapat mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum atau herniasi di bawah falks serebrum. Jika terjadi herniasi, jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemia sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematiaan (Hidayat & De Jong, 2005). Herniasi ini berakibat terjadinya kompresi pada batang otak, yang menyebabkan terjadinya pernafasan tidak teratur, disertai nafas dalam dan kadang-kadang terhenti. Apabila tekanan intrakranial meningkat sampai pada tingkat fatal, akan terjadi paralisis pernafasan. Akibat penekanan daerah medulla oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia di mana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif (Pahria, Susilaningsih, Siahaan, & Helwiyah, 1996). Keadaan ini selanjutnya dapat menyebabkan gangguan pada kepatenan jalan nafas.
f.     Jenis Cedera Kepala
Cedera kepala dibedakan menjadi tiga tingkatan berdasarkan hasil Glasgow Coma Scale (GCS) (Hudak & Gallo, 1996; Lewis, dkk, 2007; Saanin, 2008).Ketiga jenis cedera kepala tersebut adalah :
1.      Cedera kepala ringan (CKR).
      Pasien menderita, cedera kepala ringan bila GCS 13-15, terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, hematoma.
2.    Cedera kepala sedang (CKS).
      Cedera kepala sedang bila GCS 9-12, pasien mengalami penurunan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak.
3.    Cedera kepala berat (CKB).
      Cedera kepala berat bila GCS 3-8, pasien mengalami penurunan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
g. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala cedera kepala didasarkan pada luasnya kerusakan otak. Menurut Anurogo (2008), cedera kepala ringan dan sedang merupakan prevalensi terbesar ditandai adanya perubahan status mental (disorientasi), bingung atau kehilangan daya ingat, penurunan kesadaran kurang dari 30 menit. Gejala setelah cedera sering disebut post concusif syndrome. Ditandai dengan nyeri kepala, gangguan penglihatan, gangguan daya ingat, gangguan konsentrasi dan perhatian, gangguan keseimbangan, gangguan tidur, kejang, perubahan mood (depresi, sensitif, mudah lelah). Gejala penyerta lainnya : mual, gangguan penciuman, sensitif terhadap suara dan sinar, bingung dan keterlambatan berpikir. Gejala ini sering kali terjadi beberapa hari atau minggu setelah cedera kepala, kadang tidak dikenali oleh pasien maupun lingkungannya sendiri. Terjadi juga perubahan berpikir berupa konsentrasi menurun, perhatian visual menurun, kemampuan perhatian terhadap tugas yang kompleks tidak maksimal. Kecepatan proses berpikir, membaca, respon verbal juga melambat. Terdapat juga perubahan emosi, tingkah laku, dan sosial. Cemas, depresi, kegagalan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dan bisa memicu pemakaian alkohol dan obat terlarang.
Pada cedera kepala berat, merupakan proses dari cedera kepala primer yang berkembang menjadi cedera kepala sekunder bila tidak mendapat penanganan yang memadai. Empat mekanisme utama pada cedera kepala yaitu: kontusio serebri, kenaikan tekanan intrakranial, diffuse axonal injury (DAI), iskemik dan perdarahan. Kontusio otak merupakan kematian sel otak yang diikuti oleh perdarahan, sering terjadi pada sisi yang jauh dari tempat benturan. Kenaikan tekanan intrakranial merupakan kenaikan volume dari salah satu sisi intrakranial yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Dapat berupa odem jaringan otak, akumulasi perdarahan, akumulasi cairan serebrospinal. Peningkatan tekanan intrakranial akan menyebabkan herniasi kearah batang otak sehingga dapat mengakibatkan gangguan pusat-pusat pengaturan organ vital, gangguan pernafasan, hemodinamik, kardiovaskuler, dan kesadaran. Tanda dan gejala dapat berupa penurunan kesadaran, komplikasi pernafasan, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital, hemiparese, kaku kuduk (Mufti, 2009).
Penilaian terhadap cedera kepala berat menurut Saanin (2008),meliputi :
1)    Oksigenasi dan tekanan darah
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan outcome yang buruk. Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan oksimetri denyut nadi. Tekanan darah sistolik dan diastolic diperiksa sesering yang dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.
2)    Skor Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk. GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang tidak mengikuti perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak, dll. GCS dinilai lagi setelah penilaian inisial, setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemia dan hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tersebut dimetabolisasi. GCS inisial 3-5, atau perburukan 2 poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20% dengan GCS 3-5 hidup, 8-10% dengan hidup yang fungsional.
3)    Pupil
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan > 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital. Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
h.    Penatalaksanaan Klinik
Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan homeostasis otak dan mencegah kerusakan otak sekunder. Kerusakan otak sekunder ini menyebabkan odem otak, hipotensi, penurunan fungsi pernafasan yang berakibat terjadinya hipoksemia dan gangguan keseimbangan elektrolit. Tindakan ini meliputi stabilisasi kardiovaskuler dan fungsi pernafasan untuk mempertahankan perfusi serebral adekuat. Pengontrolan terhadap perdarahan dan hipovolemik, dan mempertahankan nilai-nilai gas darah sesuai dengan nilai yang diinginkan (Smeltzer, dkk, 2010).
Untuk penatalaksanaan kliniknya, menurut Smeltzer, dkk (2010) perlu dilakukan dua hal, yaitu :
1)    Tindakan terhadap peningkatan tekanan intrakranial.
Ketika otak yang rusak mengalami pembengkakan atau tejadi penumpukan darah yang cepat, akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan harus ditindak dengan segera. Jika terjadi peningkatan TIK maka diperlukan tindakan segera. TIK dipantau secara ketat dan bila terjadi peningkatan maka dapat diatasi dengan mempertahankan oksigenasi yang adekuat. Tindakan operasi diperlukan untuk evakuasi pembekuan darah, debridemen dan pengangkatan tulang yang fraktur yang mendesak ke dalam, dan menjahit kulit kepala yang mengalami laserasi. Untuk memonitor TIK dengan mempertahankan oksigenasi yang adekuat, mengatur posisi kepala lebih tinggi dari tempat tidur, dan mempertahankan volume darah dalam batas normal. Alat pemantau TIK dapat dipasang selama pembedahan atau dengan tehnik aseptik dipasang ditempat tidur pasien. Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif yang tersedia perawat dan dokter ahli.Saanin (2008) menambahkan selain tindakan diatas dapat diberikan terapi manitol untuk mengurangi edema serebral, hiperventilasi, penggunaan steroid; barbiturat; dan anti kejang profilaktif.

2)    Tindakan pendukung lainnya
Tindakan lainnya pada pasien cedera kepala adalah dukungan ventilasi, pencegahan kejang, pemeliharaan cairan dan elektrolit,  keseimbangan nutrisi, dan pengelolaan nyeri dan kecemasan. Pada pasien koma perlu diintubasi dan dipasang ventilasi mekanis untuk mengontrol dan melindungi jalan nafas. Serangan kejang dapat terjadi pada pasien yang mengalami cedera kepala akibat hipoksia yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Untuk mengatasinya dapat diberikan antikonvulsan. Bila pasien sangat teragitasi, dapat diberikan benzodiazepine (klorpromazin) untuk  menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran. Pengobatan ini tidak memperngaruhi tekanan intrakranial, bahkan menjadi pilihan yang baik untuk pasien cedera kepala. Selang nasogastrik dapat dipasang, bila motilitas lambung menurun dan peristaltik usus terbalik dikarenakan cedera kepala, dengan membuat regurgitasi dan aspirasi pada beberapa jam pertama.
B.   Penelitian Terkait
            Penelitian terkait yang sebelumnya sudah pernah diteliti oleh Irawan (2010) yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Hospital Acquaired Pneumoni (HAP) Pada Penderita Stroke Hemmoragik di Ruang ICU RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda”. Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik, dimana penelitian ini menggali bagaimana dan mengapa fenomena infeksi nosokomial pneumonia terjadi pada pasien stroke yang mengalami immobilisasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian HAP pada pasien stroke hemmoragik di ruang ICU RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda. Faktor-faktor tersebut meliputi tirah baring lama, prosedur menghisap sekresi, dan perawatan mulut.
          Penelitian terkait lain yang mirip dengan penelitian yang akan dilakukan ini sudah pernah diteliti oleh Lukman (2009) yang berjudul “Pengaruh Tirah Baring Lama Dengan Kepatenan Jalan Nafas Pasien Cedera Kepala Ringan Sampai Sedang Di Ruang Angsoka RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda”. Penelitian ini juga menggunakan rancangan penelitian quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan post test tanpa kontrol, dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh tirah baring lama dengan kepatenan jalan nafas pasien cedera kepala ringan sampai sedang. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa rata-rata pasien cedera kepala didapatkan sebelum tirah baring lama mengalami satu sampai dua tanda dan gejala ketidakpatenan jalan nafas dan setelah tirah baring lama (minimal 5 hari) rata-rata gangguan kepatenan jalan nafas menjadi dua sampai tiga tanda dan gejala. Terdapat pengaruh yang signifikan secara statistik, tindakan baring lama terhadap gangguan kepatenan jalan nafas. Disimpulkan bahwa tirah baring lama berefek negatif pada kepatenan jalan nafas pada pasien cedera kepala ringan sampai sedang.   
C.   Kerangka Teori Penelitian
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa immobilisasi/ tirah baring lama akan mengakibatkan berbagai gangguan pada semua sistem tubuh diantaranya sistem pernafasan. Pada penelitian ini yang akan diteliti adalah kepatenan jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala, dimana akibat tirah baring lama tersebut mengakibatkan gangguan pada patensi jalan nafas. Berdasarkan hal tersebut diatas dapat digambarkan kerangka teori penelitian ini  pada gambar berikut :



 








Gambar 2.1 Kerangka Teori
                                                                                             


D.   Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel, baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti ( Azwar, 2003). Kerangka konsep penelitian pada hakikatnya adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan diukur/ diteliti (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini, yang diteliti adalah variabel dependennya yaitu patensi jalan nafas, sedangkan variabel independen tirah baring lama tidak deteliti. Peneliti akan mengali perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala setelah dilakukan tirah baring lama, dimana akan dilakukan pengukuran pada patensi jalan nafas masing-masing pasien stroke dan cedera kepala. Pengukuran akan dilakukan pada hari pertama tirah baring (pre test), selanjutnya pasein stroke dan cedera kepala dilakukan tirah baring, kemudian dilakukan pengukuran kedua yaitu pada hari kelima tirah baring (post test). Dari kedua pengukuran patensi jalan nafas tersebut akan dibandingkan hasilnya apakah terdapat perbedaan pada patensi jalan nafas hari pertama tirah baring dengan patensi jalan nafas hari kelima tirah baring, ataukah tidak terdapat perbedaan pada patensi jalan nafas tersebut. Berdasarkan konsep diatas maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitiannya pada gambar 2.2 sebagai berikut :



 



Variabel Dependen
 
Variabel Independen
 
                                                                       


 



Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian




E.     Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu asumsi pernyataan tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2003).
Pada penelitian ini hipotesis yang diajukan oleh peneliti adalah :
1.    Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada perbedaan yang bermakna pada patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda.
2.    Hipotesis Nol (Ho)
Tidak ada perbedaan yang bermakna pada patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda.






















BAB  III
                                          METODE PENELITIAN

A.   Desain Penelitian
Desain atau rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang dapat memperngaruhi akurasi suatu hasil. Dapat digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan penelitian dan merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2008).
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan post test tanpa kontrol yaitu peneliti mengungkapkan kemungkinan adanya hubungan sebab akibat antar variabel tanpa adanya manipulasi suatu variabel (Nursalam & Pariani, 2001). Metode pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yaitu variabel independen dan variabel dependen diukur atau dikumpulkan dalam waktu bersamaan, kemudian hasil pengukuran akan di cross/ silang atau dibandingkan (Notoadmojo,2010). Penjelasannya adalah bahwa penelitian yang akan dilakukan ini tidak menggunakan kelompok kontrol/ pembanding atau kelompok yang tidak diberi perlakuan yaitu kelompok yang tidak dilakukan tirah baring, jadi tidak dilakukan perbandingan antara pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring dengan yang tidak dilakukan tirah baring. Dalam penelitian ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti akan melakukan pengukuran patensi jalan nafas pasien stroke dan cedera kepala pada hari pertama dan kelima tirah baring kemudian dilakukan perbandingan. Dari perbandingan tersebut akan diketahui apakah terdapat perbedaan pada patensi jalan nafas pasien stroke dan cedera kepala pada hari pertama dan kelima tirah baring, ataukah tidak terdapat perbedaan, seperti yang dikatakan oleh Riwidikdo (2007) bahwa peneliti membandingkan rata-rata nilai pre test dan rata-rata post test dari satu sampel.
B.   Populasi, Sampel, dan Sampling
1.    Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah yang diteliti, bisa berupa orang, kejadian, perilaku, atau sesuatu lain yang akan dilakukan penelitian (Nursalam & Pariani, 2001). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah. A. Wahab Sjahranie Samarinda yang memiliki diagnosis stroke dan cedera kepala. Jumlah pasien stroke sebesar 64 orang, dan pasien cedera kepala sebesar 161 orang dalam tahun 2010 dan merupakam populasi dalam penelitian ini.

2.    Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti dengan sampling tertentu untuk bisa memenuhi/ mewakili populasi (Nursalam & Pariani, 2001). Pendapat Bailey menyatakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel yang paling minimum adalah 30 (Hasan, 2002). Dan menurut Arikunto (2006). bila populasi cukup banyak pengambilan sampel antara 10% - 15% atau 20% - 25% atau lebih, tergantung setidak-tidaknya dari kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana. Sampel pada penelitian ini akan diambil 25% dari populasi yaitu 64 orang pasien stroke, dan 161 orang pasien cedera kepala, dijumlahkan keseluruhannya menjadi  225 orang, maka 225 x 25% sebanyak 56 responden. Berhubung keterbatasan waktu penelitian yang hanya 2 bulan dan tingkat mobilitas/ pergantian pasien di ruang ICU yang tinggi, dan agar jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi maka setiap pasien stroke dan cedera kepala yang pindah dari ruang ICU ke ruang rawat lain akan tetap di follow up sampai peneliti mendapatkan data secara lengkap sesuai dengan yang diharapkan.
3.    Sampling
Menurut Nursalam (2008), sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis sampel nonprobability sampling, dengan tehnik pengambilan sampelnya adalah consecutive sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subyek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2008). Pengambilan sampel menggunakan tehnik ini artinya subyek yang akan diteliti yaitu pasien dengan stroke dan cedera kepala yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah pasien terpenuhi yaitu 56 pasien/ responden. 
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2003). Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/ mengeluarkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab (Nursalam, 2008).    
Kriteria inklusi sampel penelitian ini sebagai berikut :
a.    Pasien stroke dan cedera kepala dengan GCS 8-15
b.    Sebelumnya tidak menderita penyakit saluran pernafasan dan paru-paru
c.    Pasien/ keluarga bersedia menjadi responden
d.    Dilakukan tirah baring
e.    Pasien stroke dan cedera kepala yang tidak menggunakan alat ventilasi mekanik (ventilator)
Kriteria eksklusinya adalah:
a.    Pasien stroke dan cedera kepala dengan GCS  < 8
b.    Pasien menderita penyakit saluran pernafasan dan paru-paru
c.    Pasien/ keluarga tidak bersedia menjadi responden
d.    Jalan nafas tidak paten
e.    Pasien dengan diagnosa selain stroke dan cedera kepala
f.     Pasien stroke dan cedera kepala yang menggunakan alat ventilasi mekanik (ventilator)
C.   Waktu dan Tempat Penelitian
1.    Waktu Penelitian
Waktu penelitian khususnya pengambilan data dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2011.
2.    Tempat Penelitian.
Penelitian ini akan dilakukan di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda. Alasan pemilihan ini karena rumah sakit ini merupakan Rumah Sakit tipe B, Rumah Sakit Pendidikan dan merupakan pusat rujukan dari Rumah Sakit di Kabupaten/ Kota di Kalimantan Timur, sehingga kasus stroke dan cedera kepala cukup banyak. Alasan lainnya adalah mudah terjangkau oleh peneliti, karena peneliti berpraktik di Rumah Sakit tersebut.
D, Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu.
1.    Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel ini dikenal dengan nama variabel bebas artinya bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2007). Dalam penelitian ini yang merupakan variabel independen adalah tirah baring lama, dimana variabel tirah baring ini berpengaruh atau memberi efek/ akibat terhadap variabel patensi jalan nafas (variabel dependen).

2.    Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini variabel dependennya adalah kepatenan jalan nafas. Variabel ini timbul oleh akibat adanya tirah baring lama (variabel independen)
E.  Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam & Pariani, 2001). Yang didefinisikan tersebut adalah variabel. Dan penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu tirah baring lama dan kepatenan jalan nafas. Dalam penelitian ini hanya variabel dependennya saja yang diteliti yaitu kepatenan jalan nafas, sehingga dibuatlah definisi operasionalnya, sedangkan variabel independennya yaitu tirah baring lama tidak diteliti, tetapi mempengaruhi variabel dependennya  
Definisi operasional dari variabel dependennya adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Dependen
Definisi Operasional
Parameter
Skala
Alat Ukur
Hasil Ukur
Kepatenan Jalan Nafas
Sebelum tirah baring lama
Kebersihan jalan nafas yang dialami yang diukur pada hari ke-1 pada pasien stroke dan cedera kepala
·   Kemampuan batuk produktif
·   Tidak ada stridor
·   Frekuensi nafas 12-20 kali/menit
Tidak ada ronkhi
·   Tidak ada wheezing
·   Tidak ada cuping hidung
·   Tidak ada retraksi dinding dada
·   Irama nafas
·   Kemampuan mengeluarkan sekresi
·   Tidak ada sianosis
Numerik
Lembar Observasi
Mean
Median
Modus
Min
Maks
CI 95%





















Tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Dependen
Definisi Operasional
Parameter
Skala
Alat Ukur
Hasil Ukur
Kepatenan jalan nafas setelah tirah baring lama
Kebersihan jalan nafas yang dialami yang diukur pada hari ke-5 pada pasien stroke dan cedera kepala
·   Kemampuan batuk produktif
·   Tidak ada stridor
·   Frekuensi nafas 12-20 kali/ menit
·   Tidak ada ronkhi
·   Tidak ada wheezing
·   Tidak ada cuping hidung
·   Tidak ada retraksi dinding dada
·   Irama nafas
·   Kemampuan mengeluarkan sekresi
·   Tidak ada sianosis
Numerik
Lembar Observasi
Mean
Median
Modus
Min.
Maks.
CI 95%


















F.    Instrument Penelitian
Peneliti menggunakan instrument penelitian yang berbentuk lembar observasi. Lembar observasi ini akan mengidentifikasi kepatenan jalan nafas saat pertama kali masuk atau dirawat dan kepatenan jalan nafas pada hari kelima atau seterusnya.
Instrumen penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu :
1.    Lembar observasi yang digunakan untuk mengidentifikasi data-data demografi responden meliputi nama/ kode responden, usia, jenis kelamin, pendidikan dan diagnosa penyakit stroke dan cedera kepala.
2.    Lembar observasi yang terkait dengan kepatenan jalan nafas dan parameter-parameter yang diukur meliputi kemampuan batuk, frekuensi pernafasan, ada atau tidak adanya stridor; ronchi; wheezing; pernafasan cuping hidung; retraksi dinding dada; sianosis, irama pernafasan, dan kemampuan mengeluarkan sekret. Lembar observasi ini terbagi atas dua bagian yaitu lembar observasi yang mengukur kepatenan jalan nafas pada hari pertama tirah baring dan lembar observasi yang mengukur kepatenan jalan nafas pada hari kelima tirah baring.
Instrumen dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas karena lembar observasi menggunakan format hasil modifikasi dari Nursing Outcomes Classification (NOC) tahun 2008 dan sumber teori menurut County tahun 1989, dan pelaksanaan observasi penelitian dilakukan sendiri oleh peneliti.
G.   Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setiap hari kerja selama masa penelitian pada semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi sampai mencapai jumlah responden yang telah ditentukan. Pengumpulan data ini berdasarkan cara memperolehnya. Menurut Riwidikdo (2007), data ini terdiri dari :
1.    Data Primer
Adalah data yang secara langsung diambil dari obyek penelitian oleh peneliti perorangan maupun organisasi atau kesimpulan fakta yang dikumpulkan secara langsung pada saat berlangsungnya penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah lamanya tirah baring, kepatenan jalan nafas dan parameter-parameter yang diukur.
2.    Data sekunder
Adalah data yang didapat tidak secara langsung dari obyek penelitian. Data penelitian ini diperoleh dari laporan dan catatan medis di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda. Data yang diambil dari catatan dan laporan medis adalah diagnosa penyakit stroke dan cedera kepala, dan data demografi responden.
Dan langkah-langkah pengumpulan data ini sebagai berikut :
a.    Setelah mendapatkan persetujuan dari pembimbing, peneliti meminta izin kepada Direktur Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda.
b.    Setelah peneliti mendapatkan izin secara tertulis dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie Samarinda dan izin tersebut telah dilimpahkan kepada Kepala Ruangan ICU berupa surat tembusan, maka peneliti meminta izin kepada Kepala Ruangan ICU secara lisan.
c.    Peneliti mengidentifikasi pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian atau tidak.
d.    Jika sesuai, pasien atau keluarganya (responden) diminta untuk turut serta dalam penelitian.
e.    Sebelum melakukan penelitian, responden diberi penjelasan tentang tujuan penelitian dengan lisan atau tulisan.
f.     Setelah memahami penjelasan dari penliti, responden yang bersedia ikut penelitian menandatangani lembar persetujuan penelitian.
g.    Responden diberitahu akan ditanya dan diperiksa kepatenan jalan nafasnya pada awal masuk dan hari kelima dan atau hari seterusnya.
H.   Teknik  Analisa Data
Agar analisa penelitian menghasilkan infomasi yang benar, maka data diolah dengan melalui tahapan-tahapan. Menurut Hastono (2001), tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1.    Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner, apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.
2.    Coding
Yaitu memberikan kode jawaban dengan menggunakan angka atau kode tertentu sehingga lebih mudah dan sederhana.
3.    Processing
Yaitu memproses data dengan menggunakan entry data kuesioner ke dalam program komputer.
4.    Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang telah di entry apakah ada kesalahan atau tidak, dan untuk meyakinkan bahwa data yang akan dianalisis benar-benar merupakan data yang sebenarnya.
Penelitian ini menggunakan dua tahap analisis data yaitu univariat, dan bivariat.
1.    Analisis univariat
Dilakukan dengan menganalisa variabel-variabel yang ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekwensi dan proporsinya untuk mengetahui karakteristik dari subyek peneliti. Dalam penelitian ini analisa univariat digunakan untuk mengetahui proporsi dari masing-masing variabel penelitian meliputi kepatenan jalan nafas, dan  tirah baring lama. Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 95% atau alfa = 0,05.
Rumusnya sebagai berikut :    

    F
P =  ------- x 100%
                N
      Keterangan :
      P = Persentase yang dicari
      N = Jumlah keseluruhan sampel/ responden
      F  = Frekwensi sampel/ responden untuk setiap pertanyaan (Arikunto, 2006).
2.    Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara hasil pengukuran  pertama dan pengukuran kedua. Dan membedakan dua mean hasil pengukuran. Penelitian ini menggunakan uji statistik t test dependen. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau alfa = 0,05.
Rumus t test adalah sebagai berikut :
                     d
            T = -------
              SD _ d / √ n
Keterangan :
d = rata-rata deviasi/ selisih sampel 1 dengan sampel 2
S_d =  standar deviasi dari selisih sampel 1 dan sampel 2
Selanjutnya setelah diketahui hasil t hitung, dibandingkan dengan t table, atau hitung p value melalui perhitungan program komputer (Hastono, 2001; Riwidikdo, 2007).
Jika menggunakan manual, keputusan yang dapat diambil oleh peneliti adalah sebagai berikut :\
a.    Apabila hasil perhitungan uji statistik (t test) lebih besar dari nilai tabel (nilai hitung >.nilai tabel), maka keputusannya Ho ditolak.
b.    Apabila hasil perhitungan uji statistik (t test) lebih kecil dari nilai tabel (nilai hitung < nilai tabel), maka keputusannya Ho gagal ditolak.
Jika menggunakan sistem komputer dan didapati p value, maka keputusannya adalah :
a.    Bila p value < alfa = 0,05, maka keputusannya adalah Ho ditolak, yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen.
b.    Bila p value > alfa = 0,05, maka keputusannya adalah Ho gagal ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen.
I.      Etika Dalam Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada Direktur Rumah Sakit Umum Daerah A.Wahab Sjahranie Samarinda untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian kepada responden yang diteliti dengan menekankan pada masalah etika. Menurut Nursalam & Pariani, 2001, prinsip-prinsip dalam pertimbangan etika meliputi :
1.    Informed consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden yang dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden sebelum penelitian dilakukan. Sebelum menjadi responden pasien dan keluarga akan diberikan informasi tentang tujuan pnelitian agar pasien memahami maksud, tujuan serta dampaknya. Jika responden bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak bersedia untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati keputusan dari responden.

2.    Anonimity (tanpa nama)
Untuk ,menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.
3.    Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.
J.    Jalannya Penelitian
Jalannya penelitian ini dimulai dengan urutan sebagai berikut :
1.    Penentuan Judul Proposal Penelitian dimulai sejak bulan Oktober sampai dengan November 2010.
2.    Pengumuman Judul yang lulus seleksi pada bulan November 2010.
3.    Penulisan proposal penelitian dimulai awal bulan Nopember 2010.
4.    Konsultasi proposal penelitian ke Pembimbing I dan pembimbing II mulai awal bulan November 2010 sampai dengan Maret 2011.
5.    Ujian proposal dan revisi proposal pada bulan April 2011.
6.    Penelitian dan pengumpulan data pada bulan April sampai dengan Mei 2011.
7.    Pengolahan data dan analisa data pada bulan April sampai dengan Mei 2011.
8.    Penyusunan laporan dan konsultasi hasil penelitian pada Mei sampai dengan Juli 2011.
9.    Ujian skripsi dan revisi skripsi pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2011.
10. Pengumpulan skripsi pada bulan Agustus 2011.
K.   Jadwal Kegiatan Penelitian
Jadwal kegiatan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 3.3 Jadwal Kegiatan Penelitian


L.    Rincian Biaya Penelitian
Rincian biaya dalam penelitian ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab peneliti.  Rincian biaya dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 3.4 Rincian Biaya Penelitian
NO
Uraian
Jumlah Biaya (Rp)
1
Studi Kepustakaan
400.000.-
2
Pembelian Kertas/ATK
400.000,-
3
Pengumpulan Data
50.000,-
4
Ujian Proposal
500.000,-
5
Pengadaan Alat Instrument
100.000,-
6
Analisis Data
500.000,-
7
Penulisan Laporan
300.000,-
8
Biaya Pengetikan
500.000,-
9
Penjilidan
150.000,-
10
Transportasi
300.000,-
11
Lain - Lain
100.000,-

J U M L A H
3.300.000,-

























     Lampiran 1

SURAT PENGANTAR RESPONDEN


Samarinda,  April 2011

Kepada Yth.     
Bapak/ Ibu/ Saudara(i) Keluarga Calon Responden
di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah A.Wahab Sjahranie Samarinda.

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sri Nidya Astuti
NIM     : 10.113082.3.0092
      Alamat : Jln. Marsda A. Saleh No. 2 Rt 24 Rw 9 Kelurahan Sidomulyo Samarinda Ilir

Saya adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Samarinda Jurusan  S1 Keperawatan Program Transfer, yang sedang melakukan penelitian dengan judul :
“Perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.”
Penelitian ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan bagi responden, kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Jika Bapak/ Ibu/ Sdr(i) bersedia pasien tersebut menjadi responden, maka dimohon kesediaannya untuk menandatangani lembar persetujuan. Atas bantuan dan kesediaan Bapak/ Ibu/ Sdr(i) saya ucapkan terima kasih.  
     
                                                                                         Peneliti                   
                                                                          SRI NIDYA ASTUTI


     Lampiran 2


SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


Saya yang bertanda tangan dibawah ini selaku keluarga pasien (orang tua/ suami/ istri/ anak) menyatakan bersedia bila pasien tersebut menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa STIKES Muhammadiyah Samarinda yang bernama Sri Nidya Astuti, dengan judul :

“Perbedaan patensi jalan nafas pada pasien stroke dan cedera kepala yang dilakukan tirah baring lama di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.”

Saya memahami bahwa penelitian ini tidak akan berakibat merugikan dan data mengenai diri saya/ keluarga saya akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

Samarinda, April 2011
Responden


(………………………….)










     Lampiran 3
Lembar observasi
INSTRUMEN PENELITIAN
ISIAN DATA DEMOGRAFI
(INSTRUMEN A)

Petunjuk:
Isilah pertanyaan dibawah ini dengan cara menuliskan jawaban atau memberi tanda.
Cek ( √ ) pada kolom jawaban yang disediakan

A.   Kode Responden   :                    (diisi oleh peneliti)


 

B.   Usia                            :                       tahun


 

C.   Jenis Kelamin         :           Laki-laki/ perempuan


 

D.   Pendidikan               :           SD
                                          SMP
                                                      SMA/SMU
                                                      Perguruan tinggi


 

E.   Diagnosa Medis      :           SH
                                          SNH
                                                      CKS
                                                      CKB







DAFTAR PUSTAKA

          Anonim, (2010). Jangan Remehkan Perlindungan  Kepala, Cegahlah Cedera Kepala, diperoleh dari http://www.sabdaspace.org/jangan-remehkan-perlindungan-kepala-cegahlah-cedera-kepala, diunduh tanggal 30 Oktober 2010

          Anurogo, D., (2008). Cedera Kepala Traumatik, diperoleh dari http:/www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080427225049, diunduh tanggal 29 Oktober 2010

          Aliah, A, Kuswara, F.F, Limoa, R.A., & Wuysang, G. (2003). Kapita Selekta Neurologi, Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

          Arikunto, S (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (6th eds). Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, A., dkk.,(2003). Metodelogi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat: Binarupa Awan Batam Centre

          County, M., (1989). Respiratory Insufficiency Protocol, diperoleh dari http://www.mgh.org/mqtems/protocols/new/Respiratory%20Insufficiency%201989.pdf, diunduh tanggal 29 Oktober 2010

          Guyton, A.C., (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, (3rd eds). Jakarta: EGC

          Guillen, L., (2009). Hazard of Immobilization, diperoleh dari http://www.bakersfieldcollege.edu/Iguillen/nb 20 spring  2009/nb 20 unit V.A hazard of Immobilization.pdf, diunduh tanggal10 Nopember 2010

          Hidayat, A.A., (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, (1st eds). Jakarta: Salemba Medika

          Hidayat, A.A., (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data, Jakarta: Salemba Medika

          Hidajat, S.R., & De Jong, W., (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah, (2nd eds). Jakarta: EGC

          Handayani, H., (2008). Mobilisasi dan Immobilisasi, diperoleh dari http://staff.ui.ac.id/internal/132161165/material/Mobilisasi-Materi.pdf, diunduh tanggal 24 Nopember 2010

          Hudak, C.M., & Gallo, B.M., (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, (6th eds). Jakarta: EGC

          Hastono, S.P., (2001). Analisis Data. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

          Hasan, I.M., (2002). Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia

          Ilham, R., (2009). Asuhan Keperawatan Cedera Kepala, diperoleh dari http://askep.askeb.blogspot.com/2009/12/asuhan-keperawatan-askep.cederakepala-html, diunduh tanggal 30 Oktober 2010

          Junaidi, I., (2008). Stroke A-Z, Tanya Jawab Seputar Stroke, (3rd eds). Seri Kesehatan Populer: BIP

          Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S., (2004). Fundamentals of Nursing, Concepts, Process, and Practice, (7th eds). Upper Saddle: Prentice Hall

          Kozier, B., Erb, G., Blais, K., & Wilkinson, J.M., (1995). Fundamentals of Nursing, Concepts, Process, and Practice, (5th eds). Addison Wesley Nursing

          Kompas, (2007). Stroke di Usia Muda, diperoleh dari http://bankskripsi.com/archive/http://www.tekanandarah.com/content/view/3019/, diunduh tanggal 28 Oktober 2010

          Kompas, (2009). Wanita Muda pun Berpotensi Terkena Stroke, diperoleh dari http://health.kompas.com/read/2009/11/20/18321625/Wanita.Muda.Pun.Berpotensi.Terkena.Stroke, diunduh tanggal 28 Oktober 2010

          Lewis, S.M., Heitkemper, M.M., Dirksen, S.R., O’Brien, & Bucher, (2007). Medical Surgical Nursing, Assesment and Management of Clinical Problems, (7th eds). ST Louis: Mosby Elsevier

          Mufti, A., (2009). Cedera Kepala, diperoleh dari http://moveamura.files.wordpress.com/2009/12/cedera-kepala.pdf, diunduh tanggal 25 Oktober 2010

          Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L., & Swanson, E., (2008). Nursing Outcomes Classification, (4th eds). ST Louis: Mosby Elsevier

          Medical Record RSUD AWS, (2010). 10 Besar Penyakit, diperoleh dari http://rsudaws.com/10-besar.html, diunduh tanggal 30 Oktober 2010

          Nafiah, A., (2007). Emboli Paru, diperoleh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3845/1/09600735.pdf, diunduh tanggal 28 Oktober 2010

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, (Eds.Revisi). Bandung: Rineka Cipta

          Nursalam, & Pariani, S., (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan, (1st eds). Jakarta: Infomedika

Nursalam, (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika

          Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,  (1st eds). Jakarta: Salemba Medika

          Pinzon, R., & Asanti, L., (2010). Setiap 6 Detik Nyawa Melayang Karena Stroke, diperoleh dari http://www.strokebethesda.com, diunduh tanggal 28 Oktober 2010

          Potter, P.A., & Perry, A.G., (2009). Fundamentals of Nursing, (7th eds). ST Louis: Mosby Elseveir

          Pahria, T., Susilaningsih, F.S., Siahaan, E.S.L., & Helwiyah, (1996). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan, (2nd eds). Jakarta: EGC

          Rogers, R.R., (2006). Sleep, Breathing and Orthodontics, diperoleh dari http://www.orthodonticproductonline.com/issues/articles/2006.08-07-asp, diunduh tanggal 30 Oktober 2010

           Raeni, Christantie P, & Haryani, (2008). Gambaran Tingkat Ketergantungan ADL Pada asien Stroke Haemoragik dan Non Haemoragik berdasarkan Indeks Barthel, Jurnal Ilmu Keperawatan, Yogyakarta: PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Vol (3): hal 28-29

          Ranakusuma, T.A.S., (2002). Update In Neuroemergencies, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

          Riwidikdo, H., (2007). Statistik Kesehatan, Belajar mudah teknik analisis data dalam Penelitian Kesehatan, (2nd eds). Yogyakarta: Mitra Cendikia Press

          Saanin, S., (2008). Trauma Kepala, diperoleh dari http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/cederassp-html, diunduh tanggal 27 Oktober 2010

          Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H., (2010). Brunner and Suddarth’s Texbook of Medical-Surgical Nursing, (12th eds). Philadelphia: Lipincott Willian and Wilkins

          Tejo, B.A., (2009). Immobilisasi Lama, diperoleh dari http://bimaariotejo.wordpress.com/2009/07/07/immobilisasi-lama, diunduh tanggal 5 September 2010
  






Selengkapnya...

Kumpulan Proposal/Skripsi