Kamis, 03 Mei 2012
KEBIJAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK, REMAJA, USIA LANJUT DAN PENYANDANG CACAT
Bab I
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia dan negara-negara peserta United Nation General Assembly Special Session on Children menegaskan kembali dan mendeklarasikan komitmen terhadap kesejahteraan anak. Komitmen tersebut dikenal sebagai “A World Fit for Children” (WFC). Selain berisi pernyataan tentang tekad berbagai negara untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak, Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Indonesia menyusun Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang mencakup keempat komponen tersebut. Dokumen ini khusus berisi tentang PNBAI Bidang Kesehatan. Derajat kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data SUSENAS 2001 menunjukkan Angka kematian ibu (AKI) sebesar 394 per 100.000 kelahiran hidup. Dalam kurun waktu 15 tahun AKI tidak menunjukkan penurunan, malah terlihat stagnant. Dari hasil survei tahun 2001 tersebut terlihat bahwa penyebab kematian ibu tertinggi adalah perdarahan termasuk abortus adalah 34,3 persen, diikuti oleh eklampsia (23,7 persen). Data rumah sakit menunjukkan bahwa kematian ibu di rumah sakit semakin meningkat, yaitu dari 4 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 8 per 1000 pada tahun 1999. Case fatality rate kasus maternal juga meningkat dari 0,4 persen (1993 dan 1994) menjadi 0,5 persen (1996) dan 0,8 persen (1999). Adapun permasalahan remaja merupakan hal penting yang patut di tangani pemerintah dan dalam makalah ini juga mengangkat permasalahan mengenai kebijakan pemerintah mengenai kesehatan remaja yang diantaranya dituangkan dalam undang-undang. dan mengenai kebijakan Lanjut usia yang mana data menunjukkan jumlah lansia di Indonesia terus meningkat, bagaimanapun juga fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi lansia masih kurang. Penghormatan itu antara lain, berupa pemberian fasilitas dan pelayanan khusus dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No.39/1999, pihak yang paling bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhinya adalah pemerintah Salah satu wujudnya adalah tersedianya fasilitas dan pelayanan khusus bagi mereka di Rumah Sakit-Rumah Sakit Umum dalam rangka pemenuhan hak atas kesehatannya. Mengenai permasalahan penyandang cacat menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dimaksud penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental. Dalam undang-undang tersebut juga telah mengatur adanya kuota 1 (satu) persen bagi penyandang cacat dalam ketenagakerjaan.
Bab II
LANDASAN TEORI KEBIJAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK Kesehatan ibu, bayi, dan anak (Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan)
Pasal 126-135 Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. (2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. (3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 127 (1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. (2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 128 (1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. (2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum. Pasal 129 (1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 130 Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Pasal 131 (1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. (2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun. (3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132 (1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal. (2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 133 (1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Pasal 134 (1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut. (2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 135 (1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat. (2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak.
KEBIJAKAN KESEHATAN REMAJA
Bagian Kedua Kesehatan Remaja (Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan)
Pasal 136-137
Pasal 136 (1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi. (2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat. (3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 137 (1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab. (2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KEBIJAKAN KESEHATAN LANJUT USIA DAN PENYANDANG CACAT
Bagian Ketiga Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat (Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan)
Pasal 138-140. Pasal 138 (1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan. (2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat. (2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Pasal 140 Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari : a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental. 2. Derajat kecacatan adalah tingkat berat ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang. 3. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan pe-luang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. 4. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. 5. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. 6. Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. 7. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindung-an dan pelayanan yang bersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.
BAB II
Pasal 2
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 3 Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 4 Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5 Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pasal 6 Setiap penyandang cacat berhak memperoleh : 1. pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; 2. pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; 3. perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; 4. aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5. rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan 6. hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-an, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Pasal 7 (1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya. Pasal 8 Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat.
BAB IV KESAMAAN KESEMPATAN
Pasal 9
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pasal 10
(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penye-diaan aksesibilitas. (2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. (3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal 11
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pasal 12
Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.
Pasal 13
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Pasal 14 Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan. Pasal 15 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
UPAYA
Pasal 16
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya : 1. rehabilitasi; 2. bantuan sosial; 3. pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 17
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman.
Pasal 18
(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. (2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial. (3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Bantuan sosial diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Pasal 20
(1) Bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19
diberikan kepada : a. penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi, dan belum bekerja; b. penyandang cacat yang tidak mampu, belum direhabilitasi, memiliki keterampilan, dan belum bekerja. (2) Ketentuan mengenai bentuk, jumlah, tata cara, dan pelaksanaan pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar.
Pasal 22
(1) Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21
diberikan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya bergantung pada bantuan orang lain. (2) Ketentuan mengenai bentuk, tata cara, dan syarat-syarat pemeliharaan taraf kesejahteraan social sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 23
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pasal 24
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan, bimbingan, bantuan, perijinan, dan pengawasan.
Pasal 25
(1) Masyarakat melakukan pembinaan melalui berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan kesejahteraansosial penyandang cacat. (2) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya peningkatankesejahteraan sosial penyandang cacat.
Pasal 26
Ketentuan mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dan Pasal 25
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat. (2) Penghargaan diberikan juga kepada lembaga, masyarakat, dan/atau perseorangan yang berjasa dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. (3) Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 28 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 14
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 29
(1) Barang siapa tidak menyediakan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat sebagai peserta didik padasatuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal12 dikenakan sanksi administrasi. (2) Bentuk, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30 Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penyandang cacat yang telah ada, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PENJELASAN PASAL
Pasal 128
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemberian air susu ibu ekslusif” dalam ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi. Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis.
Pasal 129
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kebijakan” dalam ketentuan ini berupa pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria.
Pasal 136
Ayat (1) Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan edukasi serta layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi remaja dengan memperhatikan masalah dan kebutuhan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan dan penyakit yang dapat menghambat pengembangan potensi anak. Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun luar sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup anak dalam lingkungan hidup yang sehat sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Upaya pembinaan usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditujukan untuk menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas dan produktif baik sosial maupun ekonomi.
Selengkapnya...
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia dan negara-negara peserta United Nation General Assembly Special Session on Children menegaskan kembali dan mendeklarasikan komitmen terhadap kesejahteraan anak. Komitmen tersebut dikenal sebagai “A World Fit for Children” (WFC). Selain berisi pernyataan tentang tekad berbagai negara untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak, Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Indonesia menyusun Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang mencakup keempat komponen tersebut. Dokumen ini khusus berisi tentang PNBAI Bidang Kesehatan. Derajat kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data SUSENAS 2001 menunjukkan Angka kematian ibu (AKI) sebesar 394 per 100.000 kelahiran hidup. Dalam kurun waktu 15 tahun AKI tidak menunjukkan penurunan, malah terlihat stagnant. Dari hasil survei tahun 2001 tersebut terlihat bahwa penyebab kematian ibu tertinggi adalah perdarahan termasuk abortus adalah 34,3 persen, diikuti oleh eklampsia (23,7 persen). Data rumah sakit menunjukkan bahwa kematian ibu di rumah sakit semakin meningkat, yaitu dari 4 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 8 per 1000 pada tahun 1999. Case fatality rate kasus maternal juga meningkat dari 0,4 persen (1993 dan 1994) menjadi 0,5 persen (1996) dan 0,8 persen (1999). Adapun permasalahan remaja merupakan hal penting yang patut di tangani pemerintah dan dalam makalah ini juga mengangkat permasalahan mengenai kebijakan pemerintah mengenai kesehatan remaja yang diantaranya dituangkan dalam undang-undang. dan mengenai kebijakan Lanjut usia yang mana data menunjukkan jumlah lansia di Indonesia terus meningkat, bagaimanapun juga fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi lansia masih kurang. Penghormatan itu antara lain, berupa pemberian fasilitas dan pelayanan khusus dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No.39/1999, pihak yang paling bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhinya adalah pemerintah Salah satu wujudnya adalah tersedianya fasilitas dan pelayanan khusus bagi mereka di Rumah Sakit-Rumah Sakit Umum dalam rangka pemenuhan hak atas kesehatannya. Mengenai permasalahan penyandang cacat menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dimaksud penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental. Dalam undang-undang tersebut juga telah mengatur adanya kuota 1 (satu) persen bagi penyandang cacat dalam ketenagakerjaan.
Bab II
LANDASAN TEORI KEBIJAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK Kesehatan ibu, bayi, dan anak (Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan)
Pasal 126-135 Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. (2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. (3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 127 (1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. (2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 128 (1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. (2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum. Pasal 129 (1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 130 Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Pasal 131 (1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. (2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun. (3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132 (1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal. (2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 133 (1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Pasal 134 (1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut. (2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 135 (1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat. (2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak.
KEBIJAKAN KESEHATAN REMAJA
Bagian Kedua Kesehatan Remaja (Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan)
Pasal 136-137
Pasal 136 (1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi. (2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat. (3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 137 (1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab. (2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KEBIJAKAN KESEHATAN LANJUT USIA DAN PENYANDANG CACAT
Bagian Ketiga Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat (Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan)
Pasal 138-140. Pasal 138 (1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan. (2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat. (2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Pasal 140 Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari : a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental. 2. Derajat kecacatan adalah tingkat berat ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang. 3. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan pe-luang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. 4. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. 5. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. 6. Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. 7. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindung-an dan pelayanan yang bersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.
BAB II
Pasal 2
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 3 Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 4 Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5 Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pasal 6 Setiap penyandang cacat berhak memperoleh : 1. pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; 2. pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; 3. perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; 4. aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5. rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan 6. hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-an, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Pasal 7 (1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya. Pasal 8 Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat.
BAB IV KESAMAAN KESEMPATAN
Pasal 9
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pasal 10
(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penye-diaan aksesibilitas. (2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. (3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal 11
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pasal 12
Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.
Pasal 13
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Pasal 14 Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan. Pasal 15 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
UPAYA
Pasal 16
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya : 1. rehabilitasi; 2. bantuan sosial; 3. pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 17
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman.
Pasal 18
(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. (2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial. (3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Bantuan sosial diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Pasal 20
(1) Bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19
diberikan kepada : a. penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi, dan belum bekerja; b. penyandang cacat yang tidak mampu, belum direhabilitasi, memiliki keterampilan, dan belum bekerja. (2) Ketentuan mengenai bentuk, jumlah, tata cara, dan pelaksanaan pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar.
Pasal 22
(1) Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21
diberikan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya bergantung pada bantuan orang lain. (2) Ketentuan mengenai bentuk, tata cara, dan syarat-syarat pemeliharaan taraf kesejahteraan social sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 23
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pasal 24
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan, bimbingan, bantuan, perijinan, dan pengawasan.
Pasal 25
(1) Masyarakat melakukan pembinaan melalui berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan kesejahteraansosial penyandang cacat. (2) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya peningkatankesejahteraan sosial penyandang cacat.
Pasal 26
Ketentuan mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dan Pasal 25
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat. (2) Penghargaan diberikan juga kepada lembaga, masyarakat, dan/atau perseorangan yang berjasa dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. (3) Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 28 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 14
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 29
(1) Barang siapa tidak menyediakan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat sebagai peserta didik padasatuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal12 dikenakan sanksi administrasi. (2) Bentuk, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30 Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penyandang cacat yang telah ada, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PENJELASAN PASAL
Pasal 128
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemberian air susu ibu ekslusif” dalam ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi. Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis.
Pasal 129
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kebijakan” dalam ketentuan ini berupa pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria.
Pasal 136
Ayat (1) Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan edukasi serta layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi remaja dengan memperhatikan masalah dan kebutuhan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan dan penyakit yang dapat menghambat pengembangan potensi anak. Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun luar sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup anak dalam lingkungan hidup yang sehat sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Upaya pembinaan usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditujukan untuk menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas dan produktif baik sosial maupun ekonomi.
Proposal DHF
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) di Indonesia dikenal dengan istilah Demam Berdarah Dengue. Penyakit ini mulai ditemukan pertama kali di Surabaya pada tahun 1968, namun kepastian virologiknya baru diperoleh pada tahun 1970.Saat ini DHF masih merupakan masalah kesehatan yang ditakuti masyarakat karena sering menimbulkan kematian pada anak-anak bahkan orang dewasa.Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Jawa Timur tahun 2000 dari bulan Januari s/d Desember jumlah penderita DHF sebanyak 3.634 jiwa. Dari jumlah tersebut terbanyak pada usia 1-14 tahun dengan jumlah 2079 jiwa. Angka kematian yang diperoleh dari seluruh penderita yaitu 33 jiwa. Data yang diperoleh dari unit perawatan anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Januari sampai dengan Juni 2000 kasus DHF sebanyak 292 anak. Dari jumlah kasus tersebut terbanyak pada usia lebih dari 5 tahun sebanyak 202 anak. Semua kasus yang dirawat tersebut tidak ada yang meninggal di Rumah Sakit.
1
Penyakit DHF termasuk penyakit menular yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Agepty. Populasi nyamuk ini semakin meningkat pada musim penghujan. Nyamuk Aedes Agepty mempunyai keistimewaan dari jenis nyamuk lainnya, karena berkembang biak di genangan air bersih. Oleh karena itu tempat bersarangnya vektor nyamuk ini terutama di bejana-bejana yang berisi air jernih seperti bak mandi, drum penampung air, kaleng bekas dan lain-lain.
Kondisi yang mendukung berkembang biaknya vektor lain karena perilaku hidup masyarakat yang mendukung kearah itu. Prilaku tersebut, tidak menutup tempat-tempat penampungan air bersih dan membiarkan begitu saja kaleng-kaleng bekas berserakan pada musim hujan. Selain itu lingkungan pemukiman yang padat ikut membiarkan kontribusi yang besar terhadap berkembang biaknya vektor.
Keistimewaan lain dari nyamuk ini yaitu nyamuk betinanya cenderung menggigit manusia pada pagi hari antara jam 09.00 – 10.00 dan sore hari antara jam 16.00 – 17.00, sehingga resiko mengalami gigitan lebih banyak pada anak-anak. Karena pada saat itu anak-anak yang paling banyak tidur. (Warta Posyandu, 1998/1999)
Kondisi penyakit DHF di Indonesia yang sering menimbulkan wabah dengan angka kesakitan yang masih cukup tinggi, sangat membutuhkan penanganan yang serius . Pengetahuan dari individu, keluarga dan masyarakat tentang penyakit DHF dan cara penanggulangannya sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan yang terjadi di masyarakat.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada prilaku sebagai hasil jangka menengah dari pendidikan kesehatan, sedangkan prilaku kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan dimasyarakat. Karena prilaku masyarakat sendiri juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. (Notoatmodjo, S. 1997)
Oleh karena itu upaya penanggulangan penyakit ini tidak hanya bergantung pada sektor kesehatan semata tetapi kerjasama lintas program, lintas sektoral dan peran serta masyarakat sangat penting dilakukan secara terpadu.
Pengetahuan tentang kesehatan terutama dalam hal ini pemahaman dari individu, keluarga dan masyarakat tentang penularan dan penanggulangan penyakit DHF pada anak, dititik beratkan pada peran orang tua memproteksi anak dari penularan penyakit ini. Keadaan ini sangat penting mengingat anak-anak lebih beresiko terserang. Untuk dapat memberikan proteksi yang baik kepada anak perlu didukung dengan wawasan dan pengetahuan yang cukup memadai tentang penyakit DHF dan penularannya. Atas dasar berbagai permasalahan diatas maka dipandang perlu untuk meneliti tentang “ TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA TERHADAP PENYAKIT DAN PERAWATAN DHF PADA ANAK “.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang penyakit dan perawatan DHF ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum :
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap dari orang tua tentang penyakit dan perawatan DHF.
1.3.2 Tujuan Khusus :
1.3.2.1 Untuk mendapatkan gambaran tentang pengetahuan dan sikap orang tua tentang penyakit DHF.
1.3.2.2 Untuk mendapatkan gambaran tentang pengetahuan dan sikap orang tua tentang perawatan anak di rumah dengan penyakit DHF.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan asuhan keperawatan pada anak dengan DHF.
1.4.2 Menambah wawasan dan pengetahuan penelitian dalam keperawatan anak dengan DHF.
1.4.3 Sebagai bahan dalam memberikan motivasi pada keluarga dan merupakan dasar terapi selanjutnya.
1.4.4 Dapat membantu meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat di Rumah Sakit.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Pengetahuan Dan Sikap
2.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. (Notoatmodjo, S. 1997)
Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang karena prilaku yang didasari oleh pengetahuan. Menurut Rogers (1974) bahwa sebelum orang mengadopsi prilaku baru (berprilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu :
1. Kesadaran (Awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
2. Merasa tertarik (Interest)
Subyek merasa tertarik terhadap stimulus/obyek tersebut. Disini sikap subyek sudah mulai timbul.
3. Menimbang-nimbang (Evaluation)
Subyek mulai menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
4. Mencoba (Trial)
Dimana subyek mulai mencoba melakukan dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adaptasi (Adaption)
Dimana subyek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus.
Pengetahuan yang termasuk dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan menurut Dr.Suhartono Taat Putra yaitu :
1. Tahu
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang specifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, kata kerja untnuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.
2. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
3. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi/penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam kontak atau situasi yang lain.
4. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis ini suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan/penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penelitian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau mengunakan kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Keadaan pengetahuan yang ingin kita ketahui dan akan kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.
2.1.2 Sikap
Sikap adalah reaksi/respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. (Notoadmodjo,S.1997)
1. Komponen Pokok Sikap
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek.
3. Kecenderungan untuk bertindak
Sama seperti pengetahuan, sikap ini terdiri dari beberapa tingkatan, yakni :
1. Menerima (Receiving) :
Bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
2. Merespon (Responding) ;
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing) :
Mengajak orang lain untuk mengerjakan/mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung Jawab (Responsible) :
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2 DHF
1. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegpty (betina). (Effendy Christantie, 1995 hlm. 1)
2. Penyebab
Demam berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegpty atau Aedes Albopictus yang betina.
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Pengetahuan Dan Sikap
2.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. (Notoatmodjo, S. 1997)
Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang karena prilaku yang didasari oleh pengetahuan. Menurut Rogers (1974) bahwa sebelum orang mengadopsi prilaku baru (berprilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu :
1. Kesadaran (Awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
2. Merasa tertarik (Interest)
Subyek merasa tertarik terhadap stimulus/obyek tersebut. Disini sikap subyek sudah mulai timbul.
3. Menimbang-nimbang (Evaluation)
Subyek mulai menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
4. Mencoba (Trial)
Dimana subyek mulai mencoba melakukan dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adaptasi (Adaption)
Dimana subyek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus.
Pengetahuan yang termasuk dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan menurut Dr.Suhartono Taat Putra yaitu :
1. Tahu
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang specifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, kata kerja untnuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.
2. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
3. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi/penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam kontak atau situasi yang lain.
4. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis ini suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan/penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penelitian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau mengunakan kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Keadaan pengetahuan yang ingin kita ketahui dan akan kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.
2.1.2 Sikap
Sikap adalah reaksi/respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. (Notoadmodjo,S.1997)
1. Komponen Pokok Sikap
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek.
3. Kecenderungan untuk bertindak
Sama seperti pengetahuan, sikap ini terdiri dari beberapa tingkatan, yakni :
1. Menerima (Receiving) :
Bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
2. Merespon (Responding) ;
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing) :
Mengajak orang lain untuk mengerjakan/mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung Jawab (Responsible) :
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2 DHF
1. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegpty (betina). (Effendy Christantie, 1995 hlm. 1)
2. Penyebab
Demam berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegpty atau Aedes Albopictus yang betina.
3. Gejala
Gejala dari DHF adalah :
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji tourniquet positif dan salah satu bentuk lain (petekie, purpura, ekimosis, epitaksis, pendarahan gusi), hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Renjatan yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun (tekanan sistolik menjadi 80 mm Hg/kurang dan diestolik 20 mm Hg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.
4. Cara Penularan
a. Cara Penularan adalah melalui prantara nyamuk Aedes Aegpty dan Aedes Albopictus yang betina setiap 2 hari sekali menggigit/mengisap darah manusia untuk memperoleh protein guna mematangkan telurnya agar dapat membiakkan keturunannya. Waktu menggigit orang yang darahnya mengandung virus dengue, virus masuk dan berkembang biak dengan cara membelah diri dalam tubuh nyamuk. Dalam waktu kurang dari 1 minggu virus sudah berada di kelenjar liur dan siap untuk dipindahkan bersama air liur nyamuk kepada orang sehat. Dalam waktu kurang dari 7 hari orang itu dapat menderita penyakit demam berdarah.
5. Cara Pencegahan
Untuk mencegah berkembangnya demam berdarah, salah satu upaya penanggulangannya dapat dilakukan melalui pemberantasan sarang nyamuk Aedes Aegpty. Penyemprotan/pengasapan bukan tindakan memutuskan rantai penularan karena sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap telur dan jentik nyamuk tersebut. Maka cara yang paling tepat yang dapat dilakukan semua masyarakat adalah ;
1) Menguras tempat-tempat penampungan air dan memberi bubuk abate.
2) Membiasakan menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3) Mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas seperti kaleng, ban dan botol bekas.
Hal terpenting yang harus dilakukan oleh keluarga yaitu mempertahankan lingkungan hidup yang bersih dan sehat dengan ventilasi dan sinar matahari yang cukup.
Penjelasan tentang pentingnya tindakan pertama bagi penderita. Tindakan pertama yang harus dilakukan yaitu :
a. Memberi penderita banyak minum
b. Kompres dingin saat panas tinggi
c. Segera bawa ke RS/Puskesmas terdekat
6. Perawatan Pasien DHF
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
1) Tirah baring atau istirahat baring
2) Diet makan lunak
3) Minum banyak (2-2,5 l/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirop dan beri penderita oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4) Pemberian cairan intravena (RL, NaCL faali) RL merupakan cairan intravena yang paling sering digunakan, mengandung Na+ 130 m Eq/l, K+ 4mEq/l, korektor basa 28 mEq/l, Cl- 109 mEq/l dan Ca++ 3 mEq/l.
5) Monitor tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6) Pemeriksaan Hb dan trombosit tiap hari
7) Pemberian obat anti piretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin/dipiron, kompres dingin.
8) Monitor tanda perdarahan lebih lanjut
9) Pemberian antibiotika bila terdapat tanda infeksi sekunder (kolaborasi dengan dokter)
10) Monitor tanda-tanda dini renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda vital, hasil pemeriksaan laborat yang memburuk.
11) Bila timbul kejang dapat diberikan diasepam (kolaborasi dengan dokter).
BAB 3
METOLOGI PENELITIAN
3.1 Metoda
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan/fenomena menurut Arikunto (1998). Pada penelitian ini ingin menggambarkan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tehadap penyakit dan perawatan DHF pada anak di Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3.2 Kerangka Konsep
I. Keterangan:
Diteliti
Tidak diteliti
3.3 Populasi, sampel dan sampling
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian yang akan diteliti (Notoatmojo, 1997). Populasi dalam penelitian ini adalah semua orang tua yang anaknya menderita DHF yang dirawat di Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Srikandi, K. 1997). Pada penelitian ini sampel yang diteliti adalah yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukan atau yang layak diteliti. Kriteria tersebut antara lain :
v Orang tua dari anak yang menderita DHF dalam kelompok umur 1 – 15 tahun yang dirawat di ruang anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
v Orang tua dari anak – anak tersebut yang tidak menderita gangguan mental dan dapat berkomnuikasi secara verbal.
v Orang tua bersedia terlibat dalam proses penelitian dari awal sampai akhir dengan mebubuhkan tandatangan dalam formulir persetujuan menjadi sampel penelitian.
Sedangkan kriteria Ekslusi adalah karateristik sampel yang tidak memenuhi syarat untuk diteliti. Kriteria ekslusi tesebut adalah :
v Orang tua dari anak yang menderita DHF yang dirawat di ruang anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan usia < 1 tahun dan >15 tahun.
v Orang tua yang menderita gangguan mental dan yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal.
v Orang tua yang tidak bersedia terlibat dalam proses penelitian.
v Pihak keluarga yang mewakili orang tua yang kebetulan berhalangan.
3.3.3 Sampling
Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili pupulasi (Burn and Grove 1991). Penelitian ini menggunakan “ Consecutive sampling “ . (Chandra, 1995) Kurun waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Minggu keempat februari sampai minggu kedua Maret 2001.
3.3.4 Identifikasi Variabel
3.4.1 Variabel Independent (Variabel bebas)
Adalah Faktor yang diduga mempengaruhi varibel dependent (Srikandi,1997). Dalam penelitian ini variabel independentnya adalah Faktor yang mempengaruhi yaitu : Pendidikan, Usia, Budaya, Status sosial ekonomi dan pengalaman masa lalu.
3.4.2 Variabel Dependent (Variabel tergantung)
Adalah variabel yang dipengaruhi oleh varibel independent (Notoatmojo, 1997). Dalam penelitian ini variabel dependentnya adalah pengetahuan dan sikap.
3.3.5 Definisi Operasional
1) Pengetahuan adalah : Merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengideraan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmojo, 1997)
(1) Pengetahuan dikatakan baik jika : Orang tua sudah mencoba dan mengadopsi stimulus yang diberikan.
(2) Pengetahuan dikatakan cukup bila : Orang tua hanya mempertimbangkan stimulus yang diberikan
(3) Pengetahuan dikatakan kurang apabila : Orang tua hanya menyadari dan tertarik pada stimulus yang diberikan.
2) Sikap adalah : Merupakan reaksi / respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmojo, 1997)
(1) Sikap dikatakan baik bila respondent menghargai dan bertanggungjawab.
(2) Sikap dikatakan cukup bila respondent dapat memberikan jawaban bila ditanya.
(3) Sikap dikatakan kurang bila respondent menerima tanpa merespon, menghargai dan bertanggungjawab terhadap stimulus yang diberikan
3) Penyakit demam berdarah adalah : Penyakit yang disebabkan oleh virus yang masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk (Christantie Effendy, 1995).
4) Perawatan DHF adalah : Tindakkan independetn perawat untuk mengatasi masalah – masalah yang terjadi sebagai akibat dai penyakit DHF
3.3.6 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Setelah mendapatkan ijin dari direktur RSUD Dr. Soetomo Surabaya, peneliti mengadakan pendekatan pada orang tua anak yang menderita DHF yang dirawat di ruang anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebagai respondent penelitian. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang telah dirancang sebelumnya dan dilakukan dengan metode wawancara. Setelah data dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengelompokan data melalui sistim tabulasi sesuai tabel yang telah disiapkan. Kemudian data diolah mencakup indentifikasi variabel dependent dan independent.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar S., (1998), “ Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya “ Edisi 2, Pustaka Belajar Offset Yogya
Notoadmojo. S, (1993), “Ilmu Kesehatan Masyarakat “. Rineka Cipta, Jakarta
Widayatun Tri Rusmi, (199), “ Ilmu Perilaku “, CV Agung Seto, Jakarta.
Markum A. H., (1991), “ Ilmu Kesehatan Anak “ FKUI, Jakarta
Arikunto Suharsimi, (1995), “ Management Penelitian “
DepKes RI, (1993), “ Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga “ DepKes RI, Jakarta
Soekanto S, (1990), “ Sosiologi Suatu Pengantar “ PT Raja Gratindo Persada Jakarta.
Ngastiyah, (1997), “Perawatan Anak Sakit “ EGC Jakarta.
Taat Putra Suhartono (1999), “ Filsafat Ilmu Kedokteran “ Airlangga University Press, Surabaya.
Effendy C., (1995), “ Perawatan pasien DHF “, EGC Jakarta.
Soeparman,(1995), “ Ilmu Penyakit Dalam “, UI Pres Buku I, Edisi Ke 2, Jakarta
Infeksi Menular Seksual
•AIDS à disebut dengan STI
•PAHS à Penyakit akibat hubungan seksual
•IMS à Infeksi yang timbul akibat adanya kontak seksual
•Penyakit seksual ada 14 :
1.Gonore
2.Sifilis
3.Vaginitis
4.Kandisiasis
5.Trikomonas
6.Ulkus mole
7.Herpes
8.Skabies
9.Granuloma R
10.Hepatitis B
Penyakit umum infeksi menular seksual (IMS)
•IMS : penyakit yang timbul karena adanya kontak seksual
•Ims akan menimbulkan gejala khas untuk masing masing penyakit
•IMS diketahui meningkatkan resiko penularan infeksi HIV melalui jalur seksual dan sebaliknya HIV mempengaruhi IMS dalam perjalanan penyakit, diagnosis dan pengobatan.
Sebagian IMS :
1.Tidak selalu timbul melalui hub. Seksual
2.Dapat timbulpada orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual
3.Sebagian penderita korban di luar kemampuan merekaS
Penyebaran IMS
•Hubungan Seksual yang tidak terlindung
•Ibu keanak saat hamil
•Transfusi darah atau kontak langsung dengan cairan darah
Kelompok yang rentan
•Wanita remaja yang seksual aktif
•Wanita yang gonta ganti fatner
•Wps dan mitranya
•Pria dan wanita yang jauh dari partner dalam jangka waktu yang lama
Komplikasi IMS
•Mandul
•Kanker
•Wanita hamil : bayi à cacat, abortus, kematian
•Kematian
Kendala
•Sukar merubah perilaku
•Sensitif pembicaraan tentang seks
•Adanya IMS tanpa gejala
•Pengobatan tidak selalu mudah dan efektif
Gejala ims yang paling sering ditemukan adalah
•Duh/cairan tubuh uretra pria dan vagina
•Luka pada kemaluan
•Tumbuhan pada kemaluan
•sifilis
•Sinonim : raja singa
•Definisi : [enyakit infeksi treponema pallidum. Kronik. Menyerang organ tubuh, mirip banyak penyakit, mempunyai masa laten, dapat kambuh, dapat ditularkan dari ibu kejanin
•Etiologi : Treponema pallidum : schaudinn dan Goffman (1905)
•Tampak pada darkfielf microscope atau Burri
Klasifikasi
•Kongenital :
àdini < 2 thn
àTarda > 2thn
àStigma ( cacat )
Akuisita
Stad I à Afek primer : beberapa kemudian akan sembuh , kemudian muncul stad. II
Stad II à kelainan kulit generalisata ( seluruh tubuh dan alat alat dalam ) masih bisa hilang à fase laten
Stad III à khas : guma (adanya penojolan)
Stad IV : kena pada saraf atau jantung : fase degeneratif yaitu sifilis, vaskuler, neuro sifilis
Coistus susper (CS)
2 – 4 mgg
Stad. I
6 – 8 mgg
Stad. II
laten dini
Menular recurens 3 – 10 thn
Tidak 1 thn
menular Laten lanjut
Stadium III/IV : 40 thn
Gambaran klinis
Stadium I
•Papula à erosif à ulkus ( durumà ulkus keras )
•Sifat : soliter, bulat/lonjong, tepi teratur, batas tegas
•Dinding tidak bergaung
•Dasar jaringan granulasi merah bersih
•Kulit sekitar tidak ada tanda radang
•Indolen (tidak ada rasa sakit ) dan teraba indurasi di pinggir (pinggiran luka menonjol )
• disebut afek primer ( hunterian chancre)
• sembuh sendiri 3 – 10 mgg
•1 mgg setelah afek primer à pembesaran kelenjar linfe regional à disebut komplek primer
•Syphilis d’ emblee : tanpa afek primer ( ex : melalui transfusi )
Stadium II
•6 – 8 mgg setelah stadium I
•Didahului gejala prodnormal
•Macam macam kelainan kulit ( 75 %)
–Makula à roseola
–Papula dengan bentuk bervariasi à kondiloma lata (bentuknya datar dan permukaan melebar, basah : paling menular
–Papulaskuamosa
–Pustula
–Umumnya tidak gatal disertai pembesaran kel. Limfe generalisata
Stadium III
•3 – 10 thn
•Mengenai :
–Struktur pembungkus badan : kulit, mukosa
–Struktur penyanggah tubuh : tulang, sendi, otot, legiomen
–Alat dalam à terutama hepar
Khas guma à infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, destruktif
Sifilis kardiovaskuler
•Pada jantung
•Pada pembuluh darah
•Pada pembuluh kecil
Neuroisifilis
•Lues serebrospinalis
•Demensia paralitika
Pembantu diagnosis
•Pemeriksaan T. Pallidium
•TSS
•Pemeriksaan lain
Pemeriksaan T. Pallidum
•Mikroskop lapangan gelap à akan terlihat bentuk spiral dan bisa meloncat
•Perwarnaan : burri
Pengobatan
•Penisilin
–PPG : 600.000 u/hr – 10 hr ( semua stadium)
–PAM : 4,8 juta unit à stad I
–6 juta à stad II
–9 juta à stad III
Benzathin Penisilin G : 4,8 juta --? Stad I
•Tetrasiklin, eritromicin, sefalisporin (sefalexin): 4 x 500 mg à 2 mgg
•Doksisiklin : 2 x 100 mg à 2 mgg
•Sefriakson : 2 x 1 gr à 2 mgg
Ulkus mole
•Masa inkubasi 1 – 3 hr
•Makula à papula à pustula à ulkus
•Sifat ulkus :
–Multiple
–Batas tidak teratur
–Dinding bergaung
–Dasar ditutupi sekret kuning (kotor)
–Kulit sekitar merah
–Teraba nyeri, indurasi tidak ada
Gonore (kencing Nanah) à penyebab bakteri
•Penyebab :
•Pada pria :
–Gatal,panas, nyeri pada waktu kencing, sekret yang keluar putih atau kehijauan
–Infeksi lama à bengkak/nyeri buah jangkar ; resiko ortitis (radang pada testis) à mandul
–Masa inkubasi : 2 – 5 hr
–Komplikasi : gingivitis
–Pada laki laki uretris karena mengenai uretra
•Pada wanita :
–Umumnya tanpa keluhan
–Bisa nyeri kencing à jarang
–Benjolan/bisul pada bibir vagina
–Nyeri perut bagian bawah à nyeri radang panggul
( biasanya demam, menggigil)
–Komplikasi : bartonilitis
–Jika terjadi salfingitis : bisa terjadi kemandulan
–Pada wanita tidak adan vaginitas gonore
–Pada wanita dewasa dimulai servicitis (terkena pada bagian servik)
Bila penyebab sejenis virus keluhan sangat minim, umumnya berupa “good morning drips “
Kandidosis vaginalis
•Gatal
•Merah/bengkak pada mulut vagina
•Cairan/sekret tubuh bergumpal, putih susu basi yang pecah, kadang kuning atau kental
•Bau seperti cuka
Trikomoniasis
•Sekret banyak, agak berbusa, warna kuning
•Gatal
•Rasa nyeri waktu berhubungan
•Bau seperti ikan busuk
•Bakteri : candida albicans, trichomoniasis vaginalis
HERVES GENITALIS
•Rasa terbakar dan gatal à timbul lepuh
•Penyebab : HSV (herves simplex virus )
•Lepuh yang muncul berkelompok , mudah pecah
•Kadang kadang disertai demam, sakit kepala dll
•Gejala pada serangan awal lebih parah dan lama
•Sering kambuh
•Ada pencetus untuk kekambuhannya
Kondiloma akuminata (jengger ayam)
•Tampak benjolan seperti jengger ayam sekitar kemaluan dan anus
•Kadang kadang disertai gatal
•Pertumbuhan lebih cepat pada wanita hamil/ada keputihan
•Pada wanita jenis virus penyebabnya ini bisa menimbulkan kanker mulut rahim
•Penyebab : HPV (human papiloma virus ) à type 6 - 11
•Ca cervik : 16 -18
•10 – 15 thn : idealnya untuk vaksin serviks
Selengkapnya...
•PAHS à Penyakit akibat hubungan seksual
•IMS à Infeksi yang timbul akibat adanya kontak seksual
•Penyakit seksual ada 14 :
1.Gonore
2.Sifilis
3.Vaginitis
4.Kandisiasis
5.Trikomonas
6.Ulkus mole
7.Herpes
8.Skabies
9.Granuloma R
10.Hepatitis B
Penyakit umum infeksi menular seksual (IMS)
•IMS : penyakit yang timbul karena adanya kontak seksual
•Ims akan menimbulkan gejala khas untuk masing masing penyakit
•IMS diketahui meningkatkan resiko penularan infeksi HIV melalui jalur seksual dan sebaliknya HIV mempengaruhi IMS dalam perjalanan penyakit, diagnosis dan pengobatan.
Sebagian IMS :
1.Tidak selalu timbul melalui hub. Seksual
2.Dapat timbulpada orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual
3.Sebagian penderita korban di luar kemampuan merekaS
Penyebaran IMS
•Hubungan Seksual yang tidak terlindung
•Ibu keanak saat hamil
•Transfusi darah atau kontak langsung dengan cairan darah
Kelompok yang rentan
•Wanita remaja yang seksual aktif
•Wanita yang gonta ganti fatner
•Wps dan mitranya
•Pria dan wanita yang jauh dari partner dalam jangka waktu yang lama
Komplikasi IMS
•Mandul
•Kanker
•Wanita hamil : bayi à cacat, abortus, kematian
•Kematian
Kendala
•Sukar merubah perilaku
•Sensitif pembicaraan tentang seks
•Adanya IMS tanpa gejala
•Pengobatan tidak selalu mudah dan efektif
Gejala ims yang paling sering ditemukan adalah
•Duh/cairan tubuh uretra pria dan vagina
•Luka pada kemaluan
•Tumbuhan pada kemaluan
•sifilis
•Sinonim : raja singa
•Definisi : [enyakit infeksi treponema pallidum. Kronik. Menyerang organ tubuh, mirip banyak penyakit, mempunyai masa laten, dapat kambuh, dapat ditularkan dari ibu kejanin
•Etiologi : Treponema pallidum : schaudinn dan Goffman (1905)
•Tampak pada darkfielf microscope atau Burri
Klasifikasi
•Kongenital :
àdini < 2 thn
àTarda > 2thn
àStigma ( cacat )
Akuisita
Stad I à Afek primer : beberapa kemudian akan sembuh , kemudian muncul stad. II
Stad II à kelainan kulit generalisata ( seluruh tubuh dan alat alat dalam ) masih bisa hilang à fase laten
Stad III à khas : guma (adanya penojolan)
Stad IV : kena pada saraf atau jantung : fase degeneratif yaitu sifilis, vaskuler, neuro sifilis
Coistus susper (CS)
2 – 4 mgg
Stad. I
6 – 8 mgg
Stad. II
laten dini
Menular recurens 3 – 10 thn
Tidak 1 thn
menular Laten lanjut
Stadium III/IV : 40 thn
Gambaran klinis
Stadium I
•Papula à erosif à ulkus ( durumà ulkus keras )
•Sifat : soliter, bulat/lonjong, tepi teratur, batas tegas
•Dinding tidak bergaung
•Dasar jaringan granulasi merah bersih
•Kulit sekitar tidak ada tanda radang
•Indolen (tidak ada rasa sakit ) dan teraba indurasi di pinggir (pinggiran luka menonjol )
• disebut afek primer ( hunterian chancre)
• sembuh sendiri 3 – 10 mgg
•1 mgg setelah afek primer à pembesaran kelenjar linfe regional à disebut komplek primer
•Syphilis d’ emblee : tanpa afek primer ( ex : melalui transfusi )
Stadium II
•6 – 8 mgg setelah stadium I
•Didahului gejala prodnormal
•Macam macam kelainan kulit ( 75 %)
–Makula à roseola
–Papula dengan bentuk bervariasi à kondiloma lata (bentuknya datar dan permukaan melebar, basah : paling menular
–Papulaskuamosa
–Pustula
–Umumnya tidak gatal disertai pembesaran kel. Limfe generalisata
Stadium III
•3 – 10 thn
•Mengenai :
–Struktur pembungkus badan : kulit, mukosa
–Struktur penyanggah tubuh : tulang, sendi, otot, legiomen
–Alat dalam à terutama hepar
Khas guma à infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, destruktif
Sifilis kardiovaskuler
•Pada jantung
•Pada pembuluh darah
•Pada pembuluh kecil
Neuroisifilis
•Lues serebrospinalis
•Demensia paralitika
Pembantu diagnosis
•Pemeriksaan T. Pallidium
•TSS
•Pemeriksaan lain
Pemeriksaan T. Pallidum
•Mikroskop lapangan gelap à akan terlihat bentuk spiral dan bisa meloncat
•Perwarnaan : burri
Pengobatan
•Penisilin
–PPG : 600.000 u/hr – 10 hr ( semua stadium)
–PAM : 4,8 juta unit à stad I
–6 juta à stad II
–9 juta à stad III
Benzathin Penisilin G : 4,8 juta --? Stad I
•Tetrasiklin, eritromicin, sefalisporin (sefalexin): 4 x 500 mg à 2 mgg
•Doksisiklin : 2 x 100 mg à 2 mgg
•Sefriakson : 2 x 1 gr à 2 mgg
Ulkus mole
•Masa inkubasi 1 – 3 hr
•Makula à papula à pustula à ulkus
•Sifat ulkus :
–Multiple
–Batas tidak teratur
–Dinding bergaung
–Dasar ditutupi sekret kuning (kotor)
–Kulit sekitar merah
–Teraba nyeri, indurasi tidak ada
Gonore (kencing Nanah) à penyebab bakteri
•Penyebab :
•Pada pria :
–Gatal,panas, nyeri pada waktu kencing, sekret yang keluar putih atau kehijauan
–Infeksi lama à bengkak/nyeri buah jangkar ; resiko ortitis (radang pada testis) à mandul
–Masa inkubasi : 2 – 5 hr
–Komplikasi : gingivitis
–Pada laki laki uretris karena mengenai uretra
•Pada wanita :
–Umumnya tanpa keluhan
–Bisa nyeri kencing à jarang
–Benjolan/bisul pada bibir vagina
–Nyeri perut bagian bawah à nyeri radang panggul
( biasanya demam, menggigil)
–Komplikasi : bartonilitis
–Jika terjadi salfingitis : bisa terjadi kemandulan
–Pada wanita tidak adan vaginitas gonore
–Pada wanita dewasa dimulai servicitis (terkena pada bagian servik)
Bila penyebab sejenis virus keluhan sangat minim, umumnya berupa “good morning drips “
Kandidosis vaginalis
•Gatal
•Merah/bengkak pada mulut vagina
•Cairan/sekret tubuh bergumpal, putih susu basi yang pecah, kadang kuning atau kental
•Bau seperti cuka
Trikomoniasis
•Sekret banyak, agak berbusa, warna kuning
•Gatal
•Rasa nyeri waktu berhubungan
•Bau seperti ikan busuk
•Bakteri : candida albicans, trichomoniasis vaginalis
HERVES GENITALIS
•Rasa terbakar dan gatal à timbul lepuh
•Penyebab : HSV (herves simplex virus )
•Lepuh yang muncul berkelompok , mudah pecah
•Kadang kadang disertai demam, sakit kepala dll
•Gejala pada serangan awal lebih parah dan lama
•Sering kambuh
•Ada pencetus untuk kekambuhannya
Kondiloma akuminata (jengger ayam)
•Tampak benjolan seperti jengger ayam sekitar kemaluan dan anus
•Kadang kadang disertai gatal
•Pertumbuhan lebih cepat pada wanita hamil/ada keputihan
•Pada wanita jenis virus penyebabnya ini bisa menimbulkan kanker mulut rahim
•Penyebab : HPV (human papiloma virus ) à type 6 - 11
•Ca cervik : 16 -18
•10 – 15 thn : idealnya untuk vaksin serviks
Langganan:
Postingan (Atom)